My ex dulu
suka sekali mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals, saat kita masih pacaran.
Ehem.'Resiko'nya jelas, aku jadi familiar dengan lagu-lagunya. Setelah kita
menikah di awal sembilanpuluhan, dia suka mendengarkan lagu-lagu KLA/Katon.
Berbeda dengan lirik lagu-lagu Iwan yang kritis dan to the point, lirik lagu
KLA sangat romantis dan manis, hingga tanpa my ex 'tulari', aku suka
lagu-lagunya KLA/Katon. (Aku kan orangnya romantis dan manis, meski kadang-kadang suka menangis. lol.)
gambar diambil dari sini |
Setelah kita
berpisah, aku menghindari mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals maupun KLA/Katon,
karena tidak mau terseret masa lalu. CPU tempat aku menyimpan lagu-lagu mereka
pun kebetulan rusak tak lama setelah kita berpisah. Praktis, aku tidak bisa
mendengarkan lagu-lagu 'kenangan' dengan sang mantan. :D
gambar diambil dari sini |
Namun, entah
kapan aku mulai mendengarkan lagi lagu-lagu KLA/Katon. Mungkin karena memang
aslinya aku suka liriknya ya. Jika di awal aku sempat 'sedikit' terseret masa
lalu, lama-lama aku pun biasa saja mendengarkan lagu-lagu KLA/Katon yang
terkenal di dekade sembilanpuluhan. Everything needs time, doesn't it? :D
Baru di
tahun 2019 ini tiba-tiba aku ingin mendengarkan lagu-lagu lawas Iwan Fals lagi,
pas aku sudah punya laptop baru dan Ranz install 'internet downloader' sehingga
dengan mudah aku bisa download lagu-lagu dari youtube.com. Jadi, ya, begitulah,
aku pun mengunduh banyak lagu-lagu Iwan Fals yang terkenal di dekade
delapapuluhan. Dan ternyata seperti yang sempat aku prakirakan, ketika
mendengarkan lagu-lagu lawas itu, teringat lagi saat-saat kita pacaran dulu.
Kekekekeke … Cuma ingat momen-momen itu lho ya, bukan berarti aku merindukan
masa-masa itu. Tak ada rasa -rasa lain.
Jadi heran,
dulu itu aku menikahinya karena apa ya? Cinta? Apa sih cinta itu? Setelah
menginjak usia setengah abad, aku bisa menggugat, cinta itu apa? LOL. Pasti
semata hanya karena aku ingin dianggap 'normal' oleh masyarakat, bahwa aku
seorang perempuan yang normal, punya pacar yang (dulu) ganteng, lol, punya
suami, punya anak. That's all. Did I feel good in our marriage? Awalnya sih
iya, namun lama-lama tidak lagi. Jika kucoba analisis menggunakan tulisanku di
link ini, penyebabnya adalah dia tidak siap dengan lingkungan baru yang dia
(terpaksa) masuki setelah kita menikah. Awalnya, aku (merasa) menjadi korban
ketidaksiapannya memasuki lingkungan baru. Di kemudian hari aku merasa, dia pun
korban dari kehidupan pernikahan yang kita masuki bersama. Bagiku pribadi,
perceraian adalah satu cara menyelamatkan Angie, anakku, dari menjadi korban
selanjutnya, agar dia tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bahagia.
Entahlah
jika satu kali nanti, aku akhirnya menyadari bahwa tanpa sengaja apa yang kita
lakukan -- terutama yang kulakukan -- pun menyebabkan Angie menjadi korban. :(
Bahwa
sekarang Angie menjadi sangat selektif dalam memilih laki-laki mana yang
mendekatinya barangkali adalah satu 'lesson learned'. Dan bahwa dia tak selalu
harus conform dengan apa yang dianggap 'normal' oleh masyarakat, juga merupakan
kesimpulan yang dia ambil dari memiliki nyokap sepertiku, seorang perempuan
yang memiliki pengalaman hidup sepertiku.
LG - IB
17.17 19-Mar-2019
No comments:
Post a Comment