Bromo, August 2023 |
Tulisan ini
merupakan respon tulisan serupa di link ini, yang ditulis oleh seorang single
mom dari kultur Barat. Respon ditulis oleh seorang single mom yang hidup di
kultur Timur, berdasarkan pengalaman pribadi, dengan cara berpikir yang mungkin
ga Timur-Timur amat. :D
Ada minimal sembilan
poin yang ditulis mengapa dating single moms tidak semudah orang kira. :)
Kesembilan poin itu ditulis tentu berdasarkan pengalaman seorang perempuan yang
tinggal di negeri Barat. (Amerika apa ya?) Mungkin tidak semua akan kutulis responnya,
hanya poin-poin yang 'mungkin' hanya dialami oleh seorang single mom di
Indonesia.
- First of all, don't call us MILFs.
Bagi yang mungkin
sangat inosen dan belum tahu singkatan apakah MILF itu, perlu saya jelaskan
bahwa MILF itu singkatan dari "Moms I'd like to f*ck" atau mungkin
lebih 'simpel'nya kata itu bisa diartikan "objek seks".
15 tahun lalu, saat
saya masih super inosen, lol, saya punya kenalan seorang laki-laki yang masih
berusia di awal 20-an. Dia bilang, laki-laki seusia dia sangat suka ngedate
dengan perempuan yang berusia di atasnya, yang sudah (pernah) menikah, karena
satu hal: mereka akan mendapatkan kepuasan seksual dengan mudah, karena
perempuan-perempuan itu tak perlu lagi membentengi 'selaput dara' mereka yang
jelas-jelas sudah sobek. LOL. (Dengan asumsi, semua perempuan yang sudah
menikah telah melakukan 'coitus' dengan pasangannya masing-masing lho ya.)
Dan seperti kata
salah seorang sobatku "semua laki-laki inginnya satu 'itu' mbak, jangan
terlalu inosen dong"; satu 'petuah bijak' lol yang dia sampaikan padaku
hampir 20 tahun yang lalu, saat saya masih jauh lebih inosen dibandingkan 15
tahun yang lalu. Kekekekeke …
Experiences mature
people, do you agree?
Sangat mengesalkan,
bagi saya pribadi, you know, jika semua laki-laki yang tertarik pada single
moms selalu didasarkan pada satu hal ini. Kalau pun sampai satu hal ini terjadi
itu adalah bonus, namun bukan hal utama. Jangan terlalu berpikir bahwa semua single
moms segitu desperate-nya karena dianggap jablay hingga mau-mau saja diajak
gituan. Lebih mengesalkan lagi jika seorang laki-laki terlihat sok moralis (di
awal), "saya ga akan ngajak yang engga2 kok," tapi baru juga 2/3
minggu berlalu, sudah ngajakin phone sex.
- We haven't lowered the bar
Para single moms
tidak segitu desperate-nya lah untuk mendapatkan pasangan (ngedate) sehingga
merendahkan standar, apalagi jika dianggap berpikir, "siapa saja boleh
deh, yang penting ada yang mau." LOL.
Ini masih ada
hubungan dengan nomor satu di atas juga. Jangan dikira hanya dengan dikirimi
gambar/meme/video "I need you badly" atau "teganya dirimu
nyuekin aku" kita akan mudah luruh. Apalagi dikirimin foto diri yang
sedang horny, kemudian dikira kita akan serta merta ketularan horny dan
menjawab, "oke deh, yuk." You must be pulling my leg. LOL.
Kecuali, ini mungkin
lho ya, kecuali jika memang kamu seorang laki-laki yang ganteng dan sexy-nya
seperti Freddie Mercuri di usianya yang pas matang, sekitar 35 - 38. apalagi
jika ditambah tajir, hingga ketika ngedate, ga perlu mikirin duit. Kekekekeke …
- We are not Daddy shopping
FYI, mungkin tidak
sedikit laki-laki yang tidak siap ditinggal istri -- entah karena meninggal
atau perceraian -- bukan hanya karena kebutuhan seks namun terutama tidak tahu
kudu ngapain untuk membesarkan anak seorang diri. Hingga, bahkan di kencan yang
pertama, telah berbisik ke telinga calon pasangannya, "Aku ingin kamu
menjadi ibu anak-anakku." Bagi sebagian perempuan, mungkin kalimat itu
terdengar sangat sweet dan cute, lol, namun bagi perempuan lain kalimat itu
mengesankan betapa tidak bertanggungjawabnya si laki-laki. Ketika memutuskan
untuk punya anak, siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, harus siap untuk
menjadi single parent, untuk mengantisipasi apa pun yang bakal terjadi.
Well, mungkin ada
juga single mom yang mencari calon suami untuk membantunya membesarkan
analk-anaknya, terutama dalam bidang finansial, tapi jangan digebyah uyah dong,
bahwa semua perempuan seperti itu.
- Even if you pay, dates cost us too
Di artikel yang
asli, untuk poin ini, si penulis menulis pengalamannya ketika dia harus
membayar lebih mahal untuk menyewa 'baby sitter' yang akan menjaga anaknya
ketika dia ngedate dengan seorang laki-laki. Pengalaman ini membeberkan bahwa
ketika kencan, meski si laki-laki yang membayar -- makan, minum, dll -- bukan
berarti si perempuan tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
Di Indonesia,
mungkin situasinya berbeda. Masih banyak single moms yang 'mungkin' mudah
meninggalkan anak-anak untuk berkencan, karena mereka masih tinggal dengan
anggota keluarga yang lain. Atau mungkin anak bisa dititipkan ke tetangga,
dengan memberi buah tangan ketika usai kencan dan menjemput anak dari tetangga.
Atau, anak-anak diajak sekalian, mungkin akan menjadi momen yang tepat untuk
mengenalkan anak-anak dengan calon pasangan sang ibu. Eh? LOL.
- No glove, no love
Kondom, seharusnya
dianggap sebagai sahabat mereka yang 'sexually active', tak hanya untuk
pencegahan kehamilan di luar pernikahan, namun terlebih lagi untuk benteng agar
tidak tertular penyakit seksual.
Sudah tahu kan
'penemuan' yang mengejutkan sekian tahun lalu bahwa banyak ibu-ibu rumah tangga
yang tertular HIV? Hal ini memberi kita 'pelajaran' bahwa suami-suami para ibu
rumah tangga itu menularkan penyakit itu kepada istri-istrinya dari melakukan
hubungan seks yang tidak aman -- alias tanpa kondom -- di luar rumah, entah
dengan pekerja seks, atau dengan siapa lagi.
Jika para ibu-ibu
rumah tangga itu saja harus melindungi diri dari berbagai penyakit menular --
misal dengan meminta sang suami menggunakan kondom -- apalagi para single moms,
yang bakal terkena permasalahan yang lebih berat jika mereka tertular penyakit
seksual, siapa yang akan merawat anak-anak, dan biaya pengobatan yang tidak
sedikit, plus time consuming.
Nomor ini bisa jadi
merupakan kelanjutan poin satu dan dua di atas. Jika seorang laki-laki telah
dianggap 'lulus screening' hingga bisa
membawa seorang single mom ke tempat tidur, jangan lupa sedia kondom. :)
- We are not looking to raise another kid
Terdengar egois ya?
Tapi, siapa pun boleh egois dong, tak hanya laki-laki. :D
Tidak semua single
moms menginginkan pasangan untuk mencarikan 'ayah pengganti' buat anak-anak
mereka lho. Banyak dari mereka yang 'hanya' ingin memiliki hubungan yang sehat,
antara laki-laki dan perempuan. Nah, ini berarti mereka pun tidak berarti siap untuk
menjadi ibu tiri/sambung anak-anak si laki-laki.
Ini adalah hal
penting, jadi benar-bear butuh dibahas di awal hubungan. What kinda
relationship do the two people want? Jika dua-duanya tidak keberatan untuk
menjadi ayah/ibu tiri bagi anak-anak pasangannya, ya go ahead. Namun, jika
salah satu tidak menginginkan hal ini, jangan dipaksakan. Mending putus di awal
sebelum segalanya kian runyam.
- Go over your hang-ups about co-parenting
Ada banyak pasangan
yang meski telah berpisah, mereka tetap committed untuk membesarkan anak-anak
mereka bersama-sama. Hal ini berarti memungkinkan mereka untuk terus
berhubungan, terutama untuk membahas tentang apa-apa yang dikaitkan dengan
anak-anak. Jadi, jangan mudah baper jika pasanganmu berhubungan dengan eks
suami/istri. Mungkin mereka hanya berdiskusi tentang anak-anak, dan bukan
apakah mereka akan CLBK. :D
Namun, jika calon
pasanganmu benar-benar tak lagi berhubungan dengan mantannya. Berbahagia lah.
Kamu tak perlu merasa cemburu tak penting karena mantan ini.
- Our kids come first but we don't come last
Bagi banyak single
moms (tidak semua ya) anak-anak jauh lebih penting dibanding hal-hal lain
sehingga sebelum mereka mengambil keputusan untuk mau menikah lagi, perasaan
anak-anak adalah poin utama untuk menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak
berarti bahwa para single moms itu menganggap diri sendiri tidak penting.
Mereka juga penting. Maka, satu hal sangat penting sebelum memutuskan menikah
lagi adalah apakah pernikahan (baru) itu akan memberi rasa nyaman bagi mereka,
sekaligus untuk anak-anak. Apakah dalam pernikahan yang baru para perempuan ini
tetap cukup punya waktu (dan dana) untuk menyenangkan diri sendiri, tak melulu
harus mengurus pasangan (yang baru) dan anak-anak, apalagi jika ditambahi
dengan anak-anak dari pasangan (yang baru).
Saya mengenal dan
mendengar cerita banyak perempuan yang menikah lagi hanya dengan mementingkan
perasaan mereka sendiri, dan mengesampingkan perasaan anak-anak yang dihasilkan
dari pernikahan sebelumnya. Atau bahkan mengingkari kenyataan bahwa mereka punya
anak dengan cara menitipkan anak-anak kepada orangtua, agar bebas untuk menikah
lagi. Hal seperti ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar di kemudian
hari. Jadi, sebaiknya dihindari deh.
- We have so much less time to waste
Single moms yang
harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial tentu tak punya waktu luang
hanya untuk berhura-hura. Mereka tentu telah mempertimbangkan segala hal secara
matang sebelum melakukan ini itu itu ini. Jika kencan dengan seorang laki-laki
hanya akan membuang-buang waktu, dan tak ada manfaatnya, tentu mereka lebih
memilih menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. Atau menikmati 'me-time' dong.
:)
Mengacu ke paragraf
di atas, jika seorang laki-laki hanya tertarik pada seorang perempuan namun tak
mau menerima anak yang akan dibawa si perempuan itu dalam pernikahan, sebaiknya
tidak usah bermain-main dengan perempuan ini. Tak semua single moms punya waktu
luang untuk main-main tidak jelas. Trauma seorang anak yang tidak diinginkan
oleh sang ibu karena sang ibu memilih menikah dengan laki-laki lain, ketimbang
merawat dan membesarkan anaknya sendiri akan menghasilkan trauma-trauma lain,
dan korban-korban lain.
gambar diimpor dari sini |
Women were born to
nurture, not to get nurtured?
Saya pernah membaca
pernyataan ini somewhere, tapi lupa dimana. Oke, bila dihubungkan dengan satu
waktu sekian ribu tahun yang lalu, setelah kaum perempuan menemukan teknologi
bercocok tanam, saat dimulainya dikotomi area kekuasaan: laki-laki di luar rumah
untuk berburu binatang, perempuan di rumah untuk bercocok tanam (di ladang
sekitar tempat tinggal). Namun, konon, sebelum teknologi bercocok tanam
ditemukan (oleh kaum perempuan), tentunya laki-laki perempuan sama-sama berburu
dong? Ketika kemudian perempuan mulai bercocok tanam, mengapa mereka harus
mendadak menerima 'takdir' sebagai nurturer? Bukan lagi hunter?
Dalam drama
"The Cocktail Party" karya T. S. Eliot, ada satu tokoh perempuan,
Celia, yang panggilan jiwanya adalah to love others, to dedicate her life for
others. Kebahagiaan yang sempurna dia dapatkan setelah mendarmabaktikan
hidupnya sebagai "sister" di satu komunitas pagan. Sementara itu,
dalam novela "The Yellow Wallpaper" karya Charlotte Perkins Gilman,
sang tokoh utama, perempuan tak bernama, dikisahkan sebagai seorang perempuan
yang bahkan tak mampu mencintai anak yang dia lahirkan sendiri.
"Personal is
political"
Prinsip kaum feminis
ini cocok diterapkan dalam segala situasi. Perempuan adalah makhluk sempurna,
complete, dan memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri,
apakah dia akan menjadi seorang nurturer, hunter, atau apa pun juga. Tanpa
laki-laki dalam hidupnya, dia telah 'complete; tanpa memiliki anak, dia juga
makhluk 'complete'. Dengan memiliki pasangan hidup, atau mungkin anak, tak akan
membuatnya 'lebih lengkap' ketimbang tidak punya.
LG 11.54 06-Mar-2019
No comments:
Post a Comment