Ada
orang yang beradaptasi dengan lingkungan -- baik yang dia masuki dengan sengaja
maupun merupakan konsekuensi pilihan -- dengan cepat, ada yang lambat, namun
aku yakin juga ada yang stagnan.
gambar diambil dari sini |
Pernikahan
termasuk salah satu lingkungan yang sejenis ini. Banyak orang menikah tanpa
menyadari bahwa dengan pernikahan, mereka memasuki satu fase kehidupan baru
dengan lingkungan yang bisa jadi berbeda dari yang mereka bayangkan semula.
Yang mereka bayangkan lebih sering seperti yang didongengkan dalam fairy tales,
yang sialnya hanya dikisahkan, "after getting married, they live happily
ever after". Dan dongeng berhenti di pesta pernikahan. Seolah setelah
menikah, tak ada lagi kisah tentang pertengkaran, air mata, dan lain sebagainya.
Padahal tentu sudah banyak contoh yang bisa kita lihat di sekitar kita, betapa
orang hidup itu sering dirongrong pertanyaan, "kapan menikah?"
setelah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah, "kapan punya anak?"
setelah punya anak yang pertama, "kapan punya anak lagi? Masak punya anak
Cuma satu?" dan seterusnya … dan seterusnya. Emang enak dirongrong terus
menerus oleh orang-orang yang bahkan tak membantu apa pun dalam kehidupan kita,
kecuali nyinyir?
Lingkungan
'baru' yang tak diantisipasi ini akan membuat seseorang melakukan hal-hal yang
tanpa dia pahami akan menyebabkan orang-orang lain yang ada di sekitarnya ikut
serta menjadi korban. Seorang laki-laki yang shocked mendapati kehidupan
pernikahan akan memperlakukan istrinya dengan tidak semestinya; hal ini juga
bisa terjadi sebaliknya. Jika keduanya 'lulus' dalam lingkungan yang baru
(pernikahan) belum tentu mereka akan lulus dalam fase selanjutnya, punya anak.
Di kultur patriarki yang masih berpandangan bahwa mengurus anak adalah tanggung
jawab seorang perempuan sepenuhnya, akan membuat seorang laki-laki tak perlu
merasa ikut membantu istrinya mengurus anak. Jika sang istri mengalami
post-partum depression, kehadiran anak -- yang mungkin lahir atas keinginan
keduanya, atau hanya merupakan resiko dari tindakan coitus yang pasangan ini
lakukan -- bisa menyebabkan sang istri menjadi korban, jika sang istri
baik-baik saja, namun secara mental si laki-laki belum siap punya anak, dan
tidak tahu harus 'ngapain' setelah sang anak dilahirkan, akan membuat anaknya
menjadi korban.
Banyak
orang memandang pengalaman pribadinya bagaimana orang tua mereka memperlakukan
mereka sebagai anak menjadi satu landasan memperlakukan anaknya. Memang kadang
hal ini berhasil menjadikan seorang anak memiliki kepribadian dan karakter yang
baik, namun tak semua pengalaman sang orangtua cocok jika diterapkan pada anak
mereka. Apalagi zaman telah berubah. Seseorang yang dilahirkan di dekade
enampuluhan -- misalnya -- namun baru punya anak di awal abad milenial, dan
tetap memandang pengalaman pribadinya dibesarkan oleh orangtuanya di dekade
tujuhpuluhan sampai delapanpuluhan sebagai acuan memperlakukan anaknya yang
merupakan generasi Z tentu akan sangat tidak tepat.
Bagaimanakah
menyadarkan orang agar tak membuat orang lain menjadi korban dari apa yang
mereka lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja?
LG
11.41 19-Mar-2019
No comments:
Post a Comment