FALLING IN LOVE WITH
PEOPLE WE CANNOT HAVE
Honestly, I love
looking at good-looking people. As a straight woman, of course, especially
good-looking men. Perempuan cantik buat apa kulihat, ya kan? Lol. Kalau
perempuan, beda lagi, aku akan sangat menyukai perempuan yang cerdas. Kalau
perempuan cantik, entar aku tersaingi dong. Kekekeke …
Sekitar 15 tahun
yang lalu, aku merasa pernah jatuh hati pada seorang laki-laki yang di mataku
indah dilihat. (Selalu jangan lupa bahwa 'beauty lies in the eyes of the
beholder' ya, indah di mataku, belum tentu indah di mata orang lain.) He was a
good flirt hingga aku terlena. Sayangnya he was married. Poor me, eh? Lol. Aku
pun terbelah menjadi dua, ingin terus menikmati hubungan (rahasia) kita namun
aku tahu itu tak seharusnya kulakukan.
Akhirnya aku
meninggalkannya, melupakan hubungan kita, meski aku melabelinya "lelaki
terindah". Yang indah kita lihat, belum tentu tetap nampak indah jika kita
miliki. LOL. Begitu kan? LOL.
Beberapa tahun
kemudian kita sempat bertemu lagi, sekali kopi darat, namun kemudian tak
berlanjut, karena tak lama setelah itu, aku bertemu seorang laki-laki lain,
yang sempat membuatku merasa terpuja sedemikian rupa. Hubungan yang juga hanya
sesaat ini (dan kita tak sempat kopi darat meski dia sering menyambangi kotaku)
membuatku 'sembuh' dari tergila-gila pada sang lelaki terindah yang kutemui 15
tahun lalu itu. Laki-laki ini mampu membuatku berubah pikiran bahwa bukan good
look yang akan membuatku 'setia' pada seorang laki-laki, namun kemampuannya
membuatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, bahkan hingga mengisahkan
hal-hal yang seharusnya bersifat pribadi.
Dua tahun kemudian
aku merasa tergila-gila pada laki-laki lain, bukan karena good look yang dia
miliki, maupun kemampuannya membuatku merasa nyaman menjadi diriku apa adanya,
namun karena tulisan-tulisannya yang cerdas. Aku yang sedang dalam perjalanan spiritual
(dari seorang relijius menjadi seorang sekuler dan dalam tahap menuju
agnotisme) tergila-gila pada tulisannya yang kadang menulis tentang hal ini. He
labeled himself a Deist. Aku tidak tahu what he really looked like karena di
blognya tak kutemui fotonya yang nampak jelas. Kita berhenti saling menyapa
setelah media sosial tempat kita bertemu tak lagi aktif. Dengan keukeuh dia tak
mau pindah ke facebook, meski dia akhirnya luluh membuat akun di twitter. Aku
bisa menemukannya dengan mudah jika aku online di twitter, tapi aku memilih
menjauhinya. Sebelum medsos tempat kita bertemu pertama kali menghilang, dia
sempat mengirim undangan perkawinan yang membuatku patah hati. Lol.
Empat tahun kemudian
aku bertemu dengan seorang laki-laki yang sejenis laki-laki yang kutemui 15
tahun lalu, sang lelaki terindah itu. He was good-looking and a good flirt.
Sejumlah puisi kasmaran mendadak kutulis untuknya. Kekekekeke … namun kita ga
pernah benar-benar dekat, ga pernah ngobrol dari hati ke hati, hingga aku ga
yakin apakah rasa yang dia hadirkan itu benar-benar rasa kasmaran seperti
rasaku pada sang Deist itu. Beberapa bulan setelah dia menghilang dari
hari-hariku (he was in fact married, plus he had a girlfriend) rasa kasmaran
itu pun pergi.
Konon jika rasa
'itu' pergi begitu saja tak sampai 4 bulan, itu hanya terpesona, bukan jatuh
cinta. Ok. Aku hanya terpesona pada flirt-nya. :)
Beberapa bulan lalu
seorang laki-laki mengaku jatuh cinta padaku, dia sangat ingin menikahiku di
tahun 2019 ini. Di mataku dia biasa-biasa saja, not good-looking. Mungkin hanya
'sepeda' yang bisa menyatukan kita. Sialnya, dia tak hanya tidak good-looking
di mataku, namun juga tak memiliki apa yang dimiliki sang Deist, kecerdasan
yang bakal membuatku klepek-klepek. Sang Deist itu memang telah
menjungkirbalikkan cara pandangku. Lol. Herannya, meski di facebook aku
berteman dengan beberapa laki-laki yang cerdas, tulisan-tulisannya membuatku
terkagum-kagum, rasa itu berhenti di 'kagum' saja, tak sampai klepek-klepek.
Lol.
"Kamu masih
saja single, to mbak?" tanya seorang perempuan yang pernah menjadi rekan
kerja di satu instansi sekian tahun lalu.
"Hu um. Yang
naksir sih banyak. Whuzzup?" jawabku, enteng. Lol.
"Segeralah
pilih salah satu, keburu tua lho entar," kompornya. Lol.
"Lha wong
memang sudah tua." jawabku cuek. Lol. "I don't mind being single,
deary," kataku lagi.
Well, waktu
memutuskan untuk menceraikan ayahnya Angie, anakku satu-satunya, aku telah
berkata pada diriku sendiri, aku tidak akan keberatan jika harus terus hidup
sendiri. Oh no. aku tidak sendiri. Ada Angie.
Plus, I have one
(biking) soul mate who will dedicate her life for me. Kadang, jika perasaan
ingin menikah muncul, aku berpikir, jika soul mate ku itu laki-laki, tentu
sudah sejak 8 tahun lalu dia kunikahi. Kekekekeke … She has been the best so
far.
LG 13.25 16 Feb 2019
No comments:
Post a Comment