Aku mengenalnya 20
tahun yang lalu, tahun 1999, ketika pertama kali dia datang ke tempatku
bekerja, sebagai karyawan baru. Tak lama kemudian begitu saja kita menjadi
akrab, kutengarai karena sifatnya yang supel menghadapi orang, sehingga aku
yang seorang aloof mudah dia dekati. Sebagai seornang perempuan, sifat supelnya
itulah yang paling menonjol dari dirinya sehingga mudah orang tertarik padanya,
meski dari segi wajah dia tidak istimewa; satu hal yang dia sadari sendiri.
Banyak hal yang aku
timba dari obrolan-obrolan kita saat itu, terutama tentang laki-laki. :) cara
berceritanya yang menyenangkan, tanpa ada kesan menonjolkan diri yang membuatku
takjub pada kisah-kisah yang dia ceritakan dulu.
"Aku telah
mengenal sifat laki-laki sejak aku duduk di bangku SMP kelas 3," katanya
satu kali, sambil matanya menerawang, tanpa memberi perincian yang lebih
detail. 20 tahun yang lalu, saat dia mengatakan ini, aku hanyalah seorang
perempuan naif yang "foolishly loyal" pada seorang laki-laki. :)
Dia mengaku tipe
perempuan yang tidak bisa hidup tanpa memiliki seorang pacar yang secara fisik
berada di dekatnya. Itu sebab dia terus menerus punya pacar, saat satu pacar
(seriusnya) tinggal di kota lain untuk menimba ilmu. Melihat sifatnya yang
supel dan menyenangkan diajak berbicara, aku yakin tidak sulit baginya
'menaklukkan' laki-laki. :D (aku kebalikannya, tipe yang jutek dan tidak pintar
mencari bahan obrolan. Lol.)
Salah satu pacar
yang (juga) dia anggap serius adalah seorang arsitek yang berusia 7 tahun lebih
muda. Jujur dia bilang dia lebih menyukai laki-laki ini ketimbang pacarnya yang
tinggal di propinsi sebelah. Namun akhirnya dia menikahi laki-laki yang satu tahun
lebih tua darinya itu karena (1) agama yang sama (2) profesi yang dimiliki
lebih menjanjikan masa depan yang lebih terjamin.
5 tahun pertama
menikah, mereka tak jua diberi momongan. Selama itu, sang suami terkesan begitu
memujanya. Sahabatku yang bukan tipe seseorang yang bisa bangun pagi, selalu
dimanjakan oleh sang suami. Sang suami yang harus berangkat bekerja pukul enam
pagi, akan bangun lebih pagi, untuk bersih-bersih rumah, kemudian memasak
sarapan sederhana untuk sang istri. Sebelum berangkat, dia akan
membangunkannya, sembari berpesan jangan lupa sarapan, yang sudah disiapkan di
meja makan.
Bisa dibayangkan
bagaimana sang suami kian memujanya setelah akhirnya dia hampil dan memberinya
seorang anak laki-laki yang sehat.
Kita berdua
sama-sama berzodiac Leo, namun bernasib berbeda. I married an asshole, she
married a (sort of) saint. :)
Tahun 2003 kita
berpisah. Dia mengikuti suaminya yang mengambil spesialis di propinsi sebelah,
sementara aku sendiri ke Jogja, kuliah lagi. Tapi aku ingat satu hal yang
pernah dia ucapkan padaku, "Laki-laki dimana-mana sama saja mbak. Mau yang
nampak alim, cuek ke perempuan, apalagi yang dari luarnya saja sudah nampak
'nakal'. One thing they want from women is the same: sex."
Tahun 2006 aku
meninggalkan Jogja. Dia dengan keluarganya (dia dikarunai seorang anak lagi,
perempuan) pindah ke Jogja, tak lama setelah itu. Namun aku baru sempat
mengunjunginya di tahun 2009. saat itu aku telah menjelma menjadi seseorang
yang berbeda, yang tak lagi "foolishly loyal" to only one man,
seperti yang dulu dia katakan. Lol. Banyak hal yang membuatku berubah:
perkawinan yang gagal, kuliah lagi yang membuatku membaca buku-buku yang dulu
tak pernah kubaca, berkenalan dengan lebih banyak laki-laki dengan berbagai
jenis. Lol. Tapi, memang benar apa yang
dikatakan oleh sahabatku ini, "they all want sex." Nana yang dulu
seorang perempuan konvensional, menjelma seorang feminis (yang berubah cukup
radikal), yang dulu (setengah) relijius, berubah menjadi sekuler, hingga
akhirnya berlabuh di ranah agnostik.
Karena tinggal di
kota yang berbeda, tentu kita jarang bertemu. Tapi, sekali bertemu, kita bisa
ngobrol apa saja, dari A hingga Z, dari yang remeh temeh hingga yang serius.
Plus satu hal yang jelas tak pernah terlewatkan adalah laki-laki. :) We both
are straight, dan kita tidak tabu berbicara tentang sex. Aku yang single, tentu
bercerita tentang laki-laki yang mampir dalam hidupku tanpa beban, apalagi
ketika akhirnya 'teori' yang dikatakan olehnya terbuki: "all (straight)
men want sex from women (they like)." Sementara itu, aku 'membaca' ada
yang tidak beres dalam hubungannya dengan sang suami yang memujanya itu. Namun
dia tetap memilih untuk tidak bercerita. Sama seperti 'pelajaran tentang
laki-laki" yang dia dapatkan sendiri ketika duduk di bangku SMP kelas 3
yang dia simpan sendiri.
Sekitar satu tahun
yang lalu, menjelang akhir tahun 2017 kalau tidak salah, akhirnya dia bercerita
bahwa dia telah berpisah dengan suaminya. "Ternyata uang yang berlebih
bisa menyebabkan seorang laki-laki berubah!" katanya. Telah cukup lama dia
mengetahui sepak terjang suaminya di luar rumah. Meski kesal dan tidak terima,
dia masih memaklumi tingkah laku laki-laki itu. Namun satu hal yang tidak bisa
dia terima, akhirnya, adalah ketika laki-laki itu (nampak) berlabuh di satu
perempuan.
"Mending dia
bermain dengan pelacur yang berganti-ganti, paling sekali kencan berapa sih?
Satu juta? Dua juta? Tapi kalau dengan perempuan yang sama, bisa puluhan juta
bisa dikucurkan untuk perempuan itu tiap bulan! Uang yang seharusnya dia
keluarkan untuk anak-anakku!" katanya geram.
Aku yakin dia sangat
patah hati ketika pertama kali tahu tingkah laku laki-laki itu. Aku juga patah
hati mendengarnya, karena selama ini diam-diam laki-laki itu kujadikan contoh
sebagai seorang "suami idaman"; my image about him was broken.
Agama yang mereka
anut menyebabkan mereka tidak mudah untuk bercerai. Namun, sahabatku ini juga
tidak ingin bercerai, dia lebih memilih hidup dalam kehidupan perkawinan yang
tidak jelas, asal anak-anaknya tetap bisa hidup tidak kekurangan, bersekolah di
sekolah yang terbaik, berlibur kemana pun mereka inginkan. Surat nikah yang dia
miliki adalah kekuatan buatnya untuk terus mampu membiayai kebutuhan
anak-anaknya. Hingga tiba masa anak-anak itu bisa berdiri di atas kaki mereka
sendiri, tanpa sokongan dana dari sang ayah.
=========
Kutulis seizin sang
pemilik kisah.
LG 12.28 16 Feb 2019