THE CHOSEN
RACE: DOES IT EVER EXIST?
Xenophobia
akan terasa sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja jika kita lahir dan hidup di
tengah-tengah masyarakat yang xenophobic. Agar bisa ‘mentas’ dari situasi
tersebut tentu bukanlah hal yang mudah. Perlu sesuatu yang spektakuler yang
menghantam keyakinan kita hingga kita tergoyah, kemudian merenungi perjalanan
hidup kita, dan perlahan-lahan melepaskan diri dari cengkeramannya. Dan
perlahan-lahan ini, bisa jadi it will
take one’s whole life time. Paling tidak, hal inilah yang terjadi padaku.
Terlahir
dari pasangan Gorontalo namun terlahir di tanah Jawa sedari kecil aku ditempa
kebingungan yang mungkin bermula dari kebingungan kedua orangtua, akan
membesarkan anak-anaknya tumbuh dengan senantiasa mengikuti budaya Gorontalo,
atau berbaur menjadi seperti orang Jawa seperti para tetangga di sekitar,
karena dari segi penampilan fisik, kita tidak jauh berbeda.
Orangtua
yang mungkin mengalami gegar budaya – maklum hidup di zaman
non-globalisasi sehingga kurang
informasi – terheran-heran mendapati perbedaan budaya yang kadang bertolak
belakang seratus persen dengan adat istiadat yang mereka ikuti dengan istiqomah
semenjak kecil. Contoh yang paling mudah adalah kebiasaan makan: orang
Gorontalo harus selalu menghabiskan semua yang ada di piring sedangkan orang
Jawa, konon agar terkesan sopan, tidak rakus, maka mereka terbiasa meninggalkan
satu sendok nasi (atau ditambah dengan yang lain) di piring. Contoh lain,
ketika aku masih kecil, di daerah tempat tinggalku waktu itu, aku sering
mendapati sesajen yang ditaruh di perempatan jalan pada malam Jumat Kliwon.
Dua
kebiasaan yang kusebut di atas kemudian dihubungkan dengan ajaran agama yang
dianut oleh orangtua sebagai suatu perilaku yang mendatangkan mudharat dan
dosa. Yang pertama, mubazir; yang kedua berupa dosa besar yang (konon) tak
terampuni: musyrik.
Mungkin
karena melihat kebiasaan-kebiasaan orang Jawa yang dianggap mendekatkan diri
dengan kemudharatan – tanpa merasa perlu mempelajari terlebih dahulu apa yang
melatarbelakanginya – orangtua tak bosan-bosannya mengingatkan anak-anaknya
bahwa kita bukan orang Jawa. Sebegitu seringnya diingatkan bahwa kita bukan
orang Jawa, Nana kecil sampai berpikir bahwa terlahir menjadi orang Jawa adalah
sebuah kutukan. Dan aku bangga bahwa aku terlahir memiliki darah Gorontalo: it
was a blessing. Sehingga satu kali ketika seorang teman sekolah bertanya apakah
aku 100% berdarah Gorontalo – yang berarti kedua orangtua berdarah Gorontalo –
atau mixed-blood 50% Gorontalo 50% Jawa, dengan inosen namun menyebalkan, aku
menjawab, “Jangan menghina ya. Aku orang Gorontalo asli, bukan orang Jawa.”
Tanpa menyadari bahwa itu bakal melukai perasaan yang bertanya. Tanpa menyadari
bahwa kita sekeluarga tinggal di pulau Jawa. Shame on me. :-P Dan lebih parah lagi,
aku tidak tahu banyak tentang Gorontalo kecuali bahwa kota yang terletak di
Sulawesi Utara itu adalah kota kelahiran kedua orangtua, namun toh aku tetap
merasa bangga terlahir tidak sebagai orang Jawa, namun terpilih menjadi orang
Gorontalo.
Being the chosen
Tidak
pernah kusadari bahwa the idea of being the chosen people itu menghinggapi
banyak kalangan, dari belahan dunia mana pun, dimulai dari being the chosen
nation, the chosen race, the chosen ethnic, hingga the chosen people from
certain religion, dll. Dan berhubung
sewaktu kecil aku bersekolah di sebuah sekolah agama, terus menerus mendapatkan
ajaran bahwa agama yang kuanut (duluuu) adalah agama yang sempurna, penyempurna
agama-agama lain, dan being the chosen religion, hanya orang-orang yang beragama
inilah yang akan masuk surga, maka mau tidak mau, aku mengimaninya.
Pertama
kali aku menginjakkan kaki di bangku SMP dan memiliki seorang teman yang
beragama berbeda denganku, aku sering memandangnya dengan penuh belas kasihan,
dia bakal masuk neraka. Satu kali dia iseng-iseng membolak-balik buku agamaku.
Kebetulan dia menemukan tulisan syahadat, dimana dia mencoba membacanya (bukan
yang bertuliskan huruf arab.) Setelah selesai, dengan dada ketar-ketir, innocently aku bilang ke dia, “Sekarang
kamu telah masuk Islam. Bacaan syahadat yang barusan kamu baca itu adalah
syarat pertama untuk seseorang yang akan masuk Islam,” dengan nada haru. Namun
di luar perkiraanku, temanku ini shocked mendengarnya, dengan buru-buru dia
mengatakan ingin membatalkan bacaan itu, dan menyatakan bahwa dia tetaplah
keukeuh memeluk agamanya. Aku heran. Mengapa dia tidak mau masuk surga?
Bukankah hanya yang beragama Islam saja yang masuk surga?
Dan
begitulah cara pandangku: I am the chosen one. Cara berpikir ketika kecil
menghadapi etnis yang berbeda mungkin semakin berkurang. Namun cara berpikir
bahwa orang yang beragama di luar agamaku adalah ahli neraka tetap terbawa
hingga saat aku menemukan cara pandang baru menyikapi posisi perempuan di
masyarakat. Ketidakpuasan menerima posisi perempuan yang tidak setara dengan
laki-laki dalam agama yang konon agama paling sempurna, yang kitab sucinya akan
selalu terjaga hingga akhir zaman, plus kegagalan pernikahan yang pertama,
didukung dengan sifat rebellious-ku, sedikit demi sedikit aku mulai berubah,
from a very traditional narrow-minded woman, menjadi an open-minded one.
Berkenalan
dengan ideologi feminisme, membaca buku-buku tentang cara memandang posisi
perempuan yang setara dengan laki-laki, membuka pikiranku untuk memandang
hal-hal lain dengan berbeda. The idea of being the chosen pun terasa
menggelikan. Dari segi spiritual, aku berkembang (atau mengalami kemunduran?
Seperti kata teman-teman kerjaku yang lama) dari sebagai seorang muslim (sok)
relijius, menjadi muslim sekuler, hingga beberapa tahun terakhir aku menyadari
aku tak lagi mengenakan sepatu yang sama: aku menyeberang ke ranah agnostik.
Di satu
sisi aku merasa jauh lebih manusiawi, tak lagi memiliki cara berpikir ilahiah,
sok menjadi ahlul jannah. Kusadari juga bahwa gembar-gembor toleransi yang
kupelajari di waktu kecil dulu sebenarnya hanyalah lips service belaka, mungkin
karena cekokan guru-guru agamaku dulu bahwa muslim adalah the chosen.
“If only
you had been happily married, Nana, you wouldn’t be who you are now,” kata
seorang sahabat beberapa tahun lalu.
Apa pun
dan bagaimana pun caranya itu, aku sendiri (nampaknya) telah berhasil
melepaskan diri dari kubangan xenophobia yang mengukungku sekian lama. Jika ada
beberapa teman yang mengenalku secara online – maupun langsung – yang
‘memujiku’ sebagai seseorang yang tidak judgmental, mereka tidak tahu betapa
bahkan sampai sekarang pun aku masih berjuang untuk itu. Jika dulu aku selalu
berpikir bahwa non muslim bakal masuk neraka, betapa pun baiknya hidup mereka
di dunia, sekarang kebalikannya, orang-orang yang nampaknya sangat relijius
dalam agama islamnya, sering kupandang bahwa tentu cara pandang mereka sama
sempitnya dengan cara pandangku dulu. :'(
Perjuanganku
masih panjang.
GL7 16.03
070812
Beberapa komen dari lapak sebelah yang bakal digusur tanggal 1 Desember 2012 nanti :'(
afemaleguest wrote today at 3:49 PM
martoart said
Keep Posting
I will Kang :)
|
afemaleguest wrote today at 3:49 PM
dinamars said
keren mbak, mbak berani mengungkapkannya dlm tulisan ini. salut ya.. :)
suwun :)
|
afemaleguest wrote today at 3:53 PM
dinamars said
ngomong2 the chosen race, jd keinget sm doktrinnya Nazi, hehehe
semula aku tahunya memang hanya di Islam
kemudian Nazi, ketika aku kuliah di American Studies, membaca karya John Winthrop tentang their chosen one -- immigrant dari England ke tanah Amerika yang konon akan menjadi penguasa dunia -- awalnya aku sempat tertawa dengan ide their being chosen one, tapi ketika teringat aku sendiri juga pernah berpikir begitu, dan ditertawakan seorang online friend dari California lebih dari satu dekade yang lalu, kupikir, this is really not funny, but ridiculous :( yang berikutnya, the Jews ... hadeeeehhhh ... |
afemaleguest wrote today at 3:54 PM
onit said
soal pandangan thd org2 religius, mungkin bisa diatasi lewat non-stereotyping.
yes, in fact, that is exactly what I have been doing so far ... trying to be not stereotyping
|
afemaleguest wrote today at 3:56 PM
onit said
but anyway congrats for not being judgmental.
aku
sendiri merasa bersalah dengan pujian ini because in fact I still think
that way, only hanya berhenti di otak, tidak sampe ke jari jemari
(untuk mengetik), atau ke mulut (untuk keluar berupa omongan)
|
wayanlessy wrote on Aug 8
flagged, buat balik lagi, udah baca blm sempat komen bener. thank you tulisannya dear..
|
wayanlessy wrote on Aug 10
Salut
untuk semangat mbak Nana untuk terus berjuang mencari terang. Kadang
orang merasa telah memilih sesuatu dan lalu memutuskan diri untuk
menutup pandangannya dan berhenti belajar, tapi tidak mbak Nana.
Mungkin perjalanan hidup mbak Nana dulu ketika berada dalam lingkungan religius terkepung oleh banyak orang-orang religius yang perpandangan sempit dan terjebak oleh kesombongan imani. Aku sependapat dengan mbak Onit, bahwa mencoba mengenal orang per-individunya akan membantu stereotyping terhadap kelompok yg religius. Semoga mbak Nana terus semangat berjuang dan dengan kecerdasan yg dimiliki, selalu kritis mengumpulkan hikmah dalam perjalanan hidup mbak Nana. ^_^ Makasih ya mbak sudah menuliskan pemikiran mbak Nana untuk menyumbang dan mendukung kegiatan menulis ttg Xenophobia ini. Berarti banget buatku. |
afemaleguest wrote today at 3:56 PM
wayanlessy said
Mungkin
perjalanan hidup mbak Nana dulu ketika berada dalam lingkungan religius
terkepung oleh banyak orang-orang religius yang perpandangan sempit dan
terjebak oleh kesombongan imani.
betul ...
|
afemaleguest wrote today at 3:57 PM
wayanlessy said
Makasih
ya mbak sudah menuliskan pemikiran mbak Nana untuk menyumbang dan
mendukung kegiatan menulis ttg Xenophobia ini. Berarti banget buatku.
it is a big pleasure for me too dear Lessy :)
|
No comments:
Post a Comment