NAIK BUS KOTA?
Beberapa
kali dalam seminggu aku harus pulang dari sekolah naik bus kota karena
Angie selesai kuliah sampai sore hari sehingga tidak bisa menjemputku.
Seperti yang kutulis di blog beberapa bulan lalu (klik disini)aku
lebih suka naik mini bus yang datang dari Salatiga atau Ambarawa karena
bus-bus itu ga pernah ngetem lama, plus murah. Aku hanya perlu bayar
duaribu rupiah. Namun, di postingan yang sama aku juga menulis kadang
mini bus dari Salatiga/Ambarawa itu kadang ga mau berhenti ketika aku
melambaikan tangan menyetopnya, dikarenakan ada bus kota (non DAMRI) di
sekitar aku menunggu bus. Terjadi kecemburuan (atau apalah namanya)
antara bus kota dengan mini bus dari luar kota itu. Maka kadang terjadi
pertengkaran antara kondektur kedua jenis bus ini. Konon memang telah
ditentukan oleh pemerintah bahwa mini bus ini tidak boleh membawa
penumpang kecuali yang memang naik dari ‘suburban area’ atau dari
Salatiga/Ambarawa. Penumpang yang dari tengah kota diharuskan (atau
hanya sekedar disarankan ya?) naik bus kota.
Beberapa
hari lalu waktu menunggu mini bus ini, aku telah ditolak dua kali. Maka
ketika sebuah bus kota (bukan DAMRI) datang, aku mencoba peruntunganku
untuk naik. Penuh harap bahwa bus ga akan ngetem di satu halte nantinya.
Di kantong baju, aku telah menyiapkan selembar duaribuan dan selembar
seribuan. (Biasanya aku bayar tigaribu rupiah jika naik bus DAMRI meski
di kaca bus tertulis “Rp 3500,00 untuk jarak dekat/jauh.” Kondektur bus
biasanya diam saja.) Karena aku naik bus kota yang bukan DAMRI, aku
bayarkan selembar duaribuan itu kepada kondektur. Dalam hati aku masih
ngedumel karena ditolak dua kali oleh kondektur mini bus. Ini pasti
karena rebutan penumpang antara mini bus dan bus kota.
“Turun mana Mbak?” tanya kondektur.
“Kalisari,” jawabku, tanpa memandang wajah sang kondektur.
“Kurang limaratus rupiah Mbak,” kata kondektur.
“Ah, biasanya juga Cuma duaribu rupiah,” jawabku cuek.
Sang kondektur diam saja.
Beberapa
saat kemudian, bus ngetem di sebuah halte. Aku sempat melirik ke
kondektur yang sedang mencari penumpang. Melihat raut wajahnya yang
lelah, berkeringat dan kepanasan, aku merasa begitu jahat. Dia hanya
minta tambahan limaratus rupiah dan aku menolaknya. Padahal di saku baju
aku masih punya selembar seribuan.
But I didn’t give it to him.
Tak
lama kemudian bus melaju, dan sampai di halte sebrang rumah sakit Dr.
Kariadi, ga jauh dari lapangan Kalisari tempat aku akan turun. Di sini
bus ngetem lamaaaaa. Dan aku pun ngedumel, kurang sedikit lagi aku turun
tapi aku harus nunggu bus ngetem lama. Hingga aku pun bersyukur tidak
jadi memberikan selembar seribuan itu kepada sang kondektur. Ada dua pengamen yang menyelesaikan lagunya saat bus ngetem, saking lamanya.
Kurang
lebih 8 menit kemudian, bus melaju lagi. Saat itu ada seorang
perempuan, yang semula kukira penumpang, berdiri di dekat pintu masuk.
Ternyata dia pun pengamen. Can you guess what song she was singing?
“Pemilihan
umum telah memanggil kita ... seluruh rakyat menyambut gembira ... di
bawah undang-undang dasar empat lima ... kita menuju ke pemilihan umum ...”
Aku
bengong. Meski harus kuakui suaranya lumayan empuk. Usai nyanyi
“Pemilu”, dia sedikit berceramah yang berhubungan dengan moral, yang
tidak kuperhatikan, karena aku sibuk memperhatikan raut wajahnya. She
looked like around my age. Serta merta aku membayangkan dia melakukan
itu untuk anak-anaknya yang butuh makan atau dia butuh uang untuk
membayar SPP anak-anaknya.
Ketika
dia mulai menyanyi lagu yang kedua – yang nampaknya lagu gereja – aku
sudah harus turun. Aku bersyukur di saku bajuku masih ada selembar
seribuan. Uang itu rejeki si pengamen yang nyanyi “Pemilu.” Dan bukan
rejeki si kondektur bus.
GL7 10.19 27041
No comments:
Post a Comment