Beberapa waktu lalu seorang kawan
medsos menulis tentang 'passion'; dia memberi definisi passion sebagai sesuatu
yang kita lakukan karena kita suka; kita tetap akan melakukannya meski (1) kita
tidak dibayar (2) butuh waktu dan energi untuk melakukannya.
Seketika aku berkaca pada diriku
sendiri. Satu kali duluuu aku pernah berkata bahwa aku ingin mengajar/berbagi
ilmu dengan yang lain sampai pada hari terakhirku menghembuskan nafas. Waktu
aku kuliah di program studi "American Studies" di Universitas Gadjah
Mada, ada seorang dosen senior yang masih mengajar, tahun itu usianya mencapai
angka 70 tahun dan masih nampak sehat dan bahagia duduk di depan kelas di
hadapan sekian puluh mahasiswa. Dia langsung menjadi role model bagiku.
Mengajar
Kupikir pasti 'teaching' adalah
passion-ku.
Sekian tahun berlalu. Sekarang aku
mulai berpikir-pikir untuk mengaku bahwa teaching is my passion. Apakah (1) aku
akan tetap mengajar meski tidak dibayar? (2) akankah aku menghabiskan waktu dan
energi tanpa dibayar untuk berbagi ilmu dengan orang lain?
Pandemi covid 19 yang ternyata
berlarut-larut ini membuatku berpikir ulang akankah aku tetap mengaku bahwa
teaching is my passion. Sekian bulan aku menganggur di rumah, tidak ada kelas
yang kuampu, dan aku menjadi malas ngapa-ngapain; apalagi cukup dengan
'rebahan' aku bisa menjadi pahlawan kesehatan. Hihihi …
Setelah berpikir-pikir, aku sampai ke
kesimpulan (sementara): bahwa mengajar itu kan tidak harus berarti kita pergi
ke satu tempat, kemudian bertemu dengan sejumlah orang yang menjadi
siswa/mahasiswa. Yang penting adalah terjadi transfering knowledge to others.
Sebelum pandemi, aku cukup sering bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan.
Saat-saat demikian itu, di tengah-tengah obrolan, akan sangat mungkin terjadi
kita saling bertukar informasi, bisa jadi sampai ke pengetahuan ini itu itu
ini. My main interest sih jelas tentang kesetaraan jender dan spiritualitas;
dua hal yang dulu (saat mengampu kelas 'conversation' dimana kadang aku
memberlakukan 'free topic to discuss') sering juga aku jadikan pembahasan.
Namun, jika teaching ini memasukkan
syarat pergi ke suatu tempat, membutuhkan waktu sekian menit/jam, dan tidak
dibayar, apalagi perginya ke satu institusi resmi, ya aku ga mau dong ya.
Hihihi …
Menulis
Kawan medsos yang kusebut di paragraf
pertama kemudian menyebut bahwa menulis adalah passion-nya. Dia akan tetap
menulis sampai kapan saja, meski tidak dibayar.
Ahaaa … kayaknya itu cocok buatku!
Pertama kali membuat blog di akhir
tahun 2005, di satu situs yang kemudian hilang. Tentu aku menulis ini untuk
membagikan apa yang ada di otakku kepada pembaca. Saat itu lumayan banyak orang
yang membaca tulisanku (situs ini ber-home-based di England) dan menulis komen.
Tentu aku senang sekali. Meski aku tidak dibayar, meski untuk mengunggahnya di
blog aku kudu ke warnet, mengeluarkan biaya sekian ribu rupiah per jam (masih
jarang, atau mungkin nyaris belum ada wifi dimana-mana), menanggung resiko
mungkin disket bakal terkontaminasi virus, lol.
Mungkin karena seperti kata Charlotte
Perkins Gilman, seorang penulis Amerika yang lahir di abad 19, bahwa
"writing is cure", aku menemukan kepuasan tersendiri setelah
menyelesaikan satu tulisan. Entah apakah akan ada yang membacanya, aku tidak
peduli. Dan jelas aku tidak peduli apakah aku dibayar atau tidak, aku akan
tetap menulis.
Saat aku malas 'mempekerjakan' otak
untuk menulis sesuatu yang 'serius' yaaa minimal aku akan menulis pengalamanku
bersepeda kesini kesana kesitu kemari. Pokoknya menulis, kemudian mengunggahnya
di blog atau media sosial lain.
Bersepeda
Selain menulis, aku berpikir
bersepeda itu juga passion bagiku. :D
Beberapa kali ketika dolan bersepeda
antar kota antar propinsi dengan Ranz, aku bertemu orang yang 'menginterogasi'
kegiatan kita bersepeda berhari-hari, yang intinya adalah bagaimana mungkin
seseorang bisa dolan berhari-hari di tanggal-tanggal yang tidak berwarna merah,
dan nampak nyantai, apakah kita dibayar untuk itu? Jadi, pekerjaan kita adalah
bersepeda dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain. Dan
jika dibayar, siapa yang membayar? Untuk apa?
Menghadapi orang-orang seperti itu,
biasanya aku dan Ranz Cuma senyum-senyum saja. Tapi saat kita hanya berdua dan
memperbincangkan tentang hal itu, kita akan tertawa, namun sembari berharap,
"Kapan kita beneran dibayar hanya untuk sepedaan?"
Nah, karena kita bersepeda dengan
suka cita, tidak dibayar, untuk kemudian mengabarkan pada dunia bahwa salah
satu cara menikmati hidup adalah bersepeda dan mengenali kota-kota yang kita
lewati dari atas sadel sepeda, berbagi foto-foto lokasi yang eksotis dan
cantik, yang berarti juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membaca kisah
kita atau melihat foto-foto hasil jepretan Ranz (mostly), bisa kan jika kukatakan
bahwa bikepacking is also my passion?
Memasak
Akhir-akhir ini, gegara pandemi dan
aku menjadi pengangguran full time, lol, entah mengapa aku mulai iseng memasak
masakan yang sebelum pandemi belum pernah kumasak. Misal: pempek, selat Solo,
ayam rica, ayam betutu, capcay, sup jagung, dll. Dan … yang bahagia dengan
kegiatanku yang baru ini tak lain dan tak bukan tentu Angie, anakku. Setiap
hari dia membawa bekal makan siang ke kantor, dan selepas lebaran tahun 2020,
ibunya kian bervariasi memasak untuknya, ga melulu hanya sup sosis, sosis
goreng, ayam goreng dan sambal bawang, tumis buncis. Hahahah …
Apakah memasak bisa menjadi
passion-ku juga? Well, mungkin saja, tapi tentu hanya untuk keluargaku,
terutama untuk Angie. Untuk orang lain? Hmmm … pikir-pikir dulu, karena aku ga
pede dengan masakanku, eh, belum pede. Hahahahahah … eh, kalau pun pede,
mungkin aku ga akan seantusias jika dibandingkan dengan harus bersepeda, harus
menulis. Hohoho …
Jadi?
Yaah … kesimpulannya adalah bahwa
passion-ku itu menulis dan bersepeda. Yeay. :D
PT56 18.04 08/11/2020
No comments:
Post a Comment