Di satu grup 'telegram' yang saya
ikuti, seorang perempuan curhat bahwa dia memiliki pandangan yang berbeda dari
suaminya tentang satu ormas yang tidak perlu saya sebut namanya. Tatkala sang
ketua ormas itu minggat ke satu negara di Timur Tengah, 'persengketaan'
perempuan ini dengan sang suami menurun drastis, meski dia masih kadang
memergoki sang suami membaca buku-buku yang meneguhkan pandangannya pada ormas
satu itu sebagai satu kebenaran tunggal.
Tatkala sang ketua yang berbadan
besar itu (akhirnya) kembali ke Indonesia, perseteruan suami istri ini kembali
memanas. Si istri berkeyakinan bahwa mudah untuk memilah pemuka agama yang
sesungguhnya dengan yang hanya mengaku-ngaku saja, yaitu dari apa yang dia
katakan. Jika yang dia katakan merugikan orang lain, bahkan cenderung merusak
masyarakat, ya berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. "Bahkan anak saya
jauh lebih mudah diberi pemahaman ketimbang ayahnya."
Perseteruan ini akhirnya membuat
suami istri ini berpisah rumah. Sang istri yang sudah tidak tahan dengan
perilaku sang suami mengajak anaknya untuk pergi meninggalkan sang suami yang
kembali 'gila' setelah sang ketua berbadan besar (juga bermulut besar) kembali.
Hal ini mengingatkan saya pada
seorang eks siswa saya, sekitar 12 tahun yang lalu. Saya punya seorang siswa
yang nampak ogah-ogahan jika berangkat sekolah. Dia hampir tidak pernah datang
ke sekolah on time. Setiap pagi selalu ada drama dimana sang ibu harus merayu
sang anak untuk berangkat sekolah. Dia selalu ketinggalan mata pelajaran yang
pertama.
Di sekolah si anak yang biasa duduk
di barisan paling depan, di sisi paling kiri selalu sibuk menggambar, nampak
tidak peduli sang guru sedang menjelaskan tentang sesuatu, meski sebenarnya
telinganya mendengarkan dengan seksama. Lebih sering diam, tidak banyak bicara
pada yang lain, dan sama sekali bukan seseorang yang troublesome, hanya ya itu
tadi, dia susah diajak berangkat sekolah tepat waktu, dan selalu diam nyaris
sepanjang hari.
Satu kali ketika ada agenda
parent-teacher interview, sang ibu curhat. Anaknya itu dulunya ceria, sociable
hingga satu kali dia dimasukkan ke satu sekolah yang berbasis agama. Dia yang
sejak kecil diajarkan untuk selalu beragama dengan baik, bertutur sapa dengan
sopan, berbagai rezeki pada yang kurang dengan ikhlas memiliki pandangan bahwa
semua orang yang hidupnya berdasarkan pada agama adalah sebaik-baik manusia, di
sekolah itu melihat sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang dia yakini.
Dia tidak melihat guru yang sabar ketika melihat ada siswa yang mungkin
kedapatan sedang ngobrol: sang guru melempar entah penghapus entah apa ke
kawannya. Dia melihat orang-orang yang di matanya seharusnya memberi contoh
bagaimana menjadi manusia yang baik karena memahami agama dengan semestinya
ternyata jauh dari apa yang dia bayangkan. Dan hal ini membuatnya stress berat.
Dia tidak mau berangkat sekolah
selama nyaris satu tahun. Setelah dipindah ke sekolah dimana saya menjadi salah
satu guru dia mau berangkat sekolah, meski tidak pernah datang on time, meski
selalu ada hari dimana dia tidak masuk dalam satu minggu. Meskipun begitu, itu
sudah termasuk peningkatan bagi orangtuanya karena si bocah (waktu saya jadi
wali kelas dia duduk di kelas 10) mau berangkat sekolah setelah mogok sekolah
selama hampir satu tahun di sekolah sebelumnya.
Mungkin dia bukan satu-satunya orang
yang mengalami hal ini. Pertanyaan saya hanyalah: jika seorang anak yang masih
berusia belasan tahun saja bisa mengerti bahwa orang yang mengerti agama
seharusnya orang yang welas asih kepada yang lain, mengapa orang-orang tua itu
justru begitu beringas pada yang lain, meski mereka berafiliasi pada ormas
berbasis agama?
PT56 08.47 25/11/2020
No comments:
Post a Comment