Honestly,
alasan utama yang merupakan 'trigger' aku kembali ke kedua lokasi ini adalah
Taman Hutan Rakyat KGPAA Mangkunegoro I yang terletak di lereng Gunung Lawu,
tak jauh dari Candi Sukuh.
'Kok
bisa?'
Iya. Ada
dua alasan mengapa Tahura satu ini membawaku kembali ke dua candi yang
bentuknya mirip satu sama lain, meski terletak sejauh sekitar 13 kilometer.
Pertama, waktu aku dan Ranz berkesempatan mengunjungi Tahura tahun 2013, kita
tidak sempat explore sampai lumayan jauh. Keterbatasan waktu saat itu jelas
merupakan alasan mengapa kita tidak menyempatkan diri. Yang kedua, taman hutan
rakyat ini merupakan salah satu latar tempat yang disebut-sebut dalam novel
'Aroma Karsa', tempat Jati Wesi yang memiliki kemampuan mencium aroma yang luar
biasa menjelajah hutan untuk mencari Puspa Karsa.
(Aku
memang sering 'kebablasan' begini jika sedang membaca satu karya. Hihihi …)
Setelah
menahan keinginan ini selama kurang lebih dua tahun, alhamdulillah awal Agustus
2020 aku bisa mewujudkannya, dengan ditemani Ranz, Angie, dan Fitri.
Aku,
Angie, dan Fitri berangkat ke Solo hari Jumat 31 Juli 2020, naik motor. Ya,
kita kembali bertualang dengan naik motor.
Sabtu 1 Agustus 2020
Kita
berempat meninggalkan rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 07.00. karena Angie
dan Fitri ingin sarapan nasi liwet, kita sarapan nasi yang di Semarang disebut
'nasi ayam' ini di satu lokasi yang tidak begitu jauh dari rumah Ranz. Setelah
sarapan ini, kita menuju RM soto segeer Hj. Fatimah yang terletak di Jl.
Bhayangkara, Solo. Sarapan lagi kitaaa. Porsi nasi liwet yang kecil jelas ga
begitu 'nendang' laaah. Tapi, memang aku sudah nyidam sarapan nasi soto ayam
disini kok.
Sekitar
pukul 08.00 kita selesai sarapan, kemudian kita langsung menuju arah
Karanganyar. Dari Jl. Bhayangkara, Ranz mengajak kita ke arah Jl. Veteran,
kemudian luruuus hingga Bekonang, luruuuuus hingga melewati Danau Lalung (yang
pernah kita berdua kunjungi naik sepeda di tahun 2012) dan kita pun sampai
Karanganyar. Setelah membeli bensin di satu SPBU, Ranz mengajak kita ke arah
jalan propinsi yang cukup lebar.
Sekitar
pukul 09.30 kita sudah sampai di tempat parkir. Angie dan Fitri memang bisa
diandalkan, padahal trek tanjakannya super curam, terutama sekitar 3 kilometer
menjelang Candi Cetha. Kalau aku, mending naik sepeda deh. Jika ketemu tanjakan
securam itu, ya kutuntun deh sepedanya, lol.
To our
surprise, Candi Cetha dikunjungi banyak orang! Sebagian dari mereka nampak akan
mendaki Gunung Lawu. Nampak ada puluhan orang yang membawa carrier yang
menandakan mereka akan mendaki gunung. Hmmm … ga lagi 'new normal' inih, tapi
'back to the old normal'. :( bener-bener unpredictable.
Setelah
mlipir ke toilet yang terletak di satu lokasi tempat kita memarkir sepeda
motor, kita berjalan ke loket penjualan karcis. Untuk membeli satu tiket, kita
membayar Rp. 10.000,00. Setelah membeli tiket, kita 'digiring' ke tempat kita
akan diberi kain batik yang harus kita kenakan di pinggang. Oh ya, saat
dipinjami kain batik ini, kita dimohon untuk menyumbang seikhlasnya, untuk
perawatan kain. Untuk berempat, aku menyumbang sepuluh ribu rupiah.
Kawasan
Candi Cetha berkabut tebal saat kita datang, dan kabutnya ga hilang-hilang
sampai kita meninggalkan lokasi ini. Bener-bener tidak menyangka bahwa Candi
Cetha telah memiliki 'penggemar'; meski berlokasi yang cukup sulit dijangkau,
banyak orang yang menyempatkan diri kesini, setelah 'new normal' diterapkan.
Padahal menurut berita yang kubaca, pengunjung Candi Cetha 'hanya' sekitar 30%
dibandingkan sebelum pandemi. Gileee.
Ini aku
membandingkan dengan saat aku dan Ranz kesini bulan Januari 2013 ya. Waktu itu
kayaknya ga ada sampai 10 orang deh yang kita jumpai di area Candi Cetha. Aku
cukup bersyukur bahwa pihak pengelola tidak berpikir untuk menyediakan
'instagrammable spots' yang ga penting. :D jadi, meskipun ramai, aku tidak
'pangling' dengan lokasinya.
Another
'surprise' adalah saat kita akan melanjutkan jelajahan kita ke Puri Saraswati.
Ada loket penjualan tiket lagi. Per orang dikenai biaya Rp. 7000,00. 'Blessing
in diguise' bagiku karena lokasi Puri Saraswati jadi sunyi, persis seperti yang
kuharapkan. Enak buat menyepi dan meditasi.
Dari Puri
Saraswati, aku mengajak keluar, ga melanjutkan ke lokasi Candi Kethek, karena
aku ingat, disana tidak ada bangunan 'fisik' berbentuk candi. :)
Otw ke
tempat parkir, kita sempat jajan serabi dan cilok. Angie dan Fitri sudah
kelaparan nampaknya, padahal paginya kita sarapan dua kali, nasi liwet dan soto
segeer, lol. Pastinya mboncengin aku dan Ranz naik sepeda motor ke Candi Cetha
yang menantang adrenalin cukup melelahkan mereka berdua sekaligus membuat
mereka kelaparan, lol.
Dalam
perjalanan menuju Candi Sukuh, ada trouble menimpa sepeda motor yang dikendarai
Fitri -- rem sebelah kanan blong! Inilah resiko naik sepeda motor matic di
lokasi tanjakan/turunan curam. Kata Angie, "sepeda motor matic itu enak
buat nanjak Ma, tapi turunnya beresiko." Pertama kali meninggalkan Cetha,
Ranz dan Fitri di depan. Sampai di satu belokan tajam, aku melihat mereka
berhenti di ujung, kirain mereka menunggu aku dan Angie. Angie terus melenggang
memacu sepeda motor yang dia kendarai, dipikir setelah itu Fitri akan segera
menggeber gas dan menyusul kita. Namun, ketika aku dan Angie sudah sampai di
perkebunan teh, kira-kira berada 5 kilometer di depan, kita tidak melihat
penampakan Fitri dan Ranz. Kita pun berhenti, menunggu. 15 menit kemudian
mereka baru muncul. Fitri bercerita kasus rem sebelah kanan blong. Maka, Angie
pun kemudian memilih terus berada di belakang motor yang dikendarai Fitri.
Tak lama
dari situ, Fitri merasakan rem sebelah kanan bermasalah lagi, kita berhenti
lagi di depan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Kebetulan ada seorang
laki-laki yang berdiri di depan rumah itu memperhatikan kita, kemudian menyapa,
"Ada masalah kah?" saat tahu bahwa rem sepeda motor yang dikendarai
Fitri, trouble, dia langsung menyarankan menyemprot bagian rem yang panas
dengan air; kebetulan ada pipa air di halaman.
"Kalau
naik matic di tanjakan/turunan tajam, jangan lupa bawa air buat menyiram rem
yang panas. Ini sangat membantu memecahkan masalah rem mendadak terasa
blong," sarannya. Satu hal yang benar-benar 'baru' buat kita berempat. :)
Setelah
mengucapkan terima kasih, kita melanjutkan perjalanan. Aku bilang ke Ranz ingin
makan siang di "Ndoro Dongker"; satu tempat yang mendadak ngetop di
telingaku setelah tempat ini menjadi tujuan bersepeda saat Jamselinas 5 Solo
tahun 2015. Tahun 2013 dulu, sepulang dari Candi Cetha, Ranz mengajakku mampir
ke resto "Kemuning Indah.
Setelah
makan siang, kita melanjutkan perjalanan ke Candi Sukuh, kurang lebih 4
kilometer dari Ndoro Dongker, dengan trek tanjakan yang lumayan curam juga,
meski tidak securam ke Candi Cetha.
Sekitar
pukul 15.15 kita sampai di kawasan Candi Sukuh. Saat berencana kesini lagi, aku
bilang ke Ranz aku pingin menginap di rumah penduduk yang dulu kita inapi juga
di tahun 2013. lokasinya yang sangat dekat dengan Candi Sukuh lah yang
membuatku ingin menginap disini lagi. Tapi Ranz agak keberatan karena (1) kamar
mandinya terletak di luar. (2) tidak ada air panas. Dia ingin menginap di hotel
yang dia browsing bernama "Sukuh Cottage" dengan pemandangan yang
spektakuler, tapi terletak agak jauh dari Candi Sukuh.
"Toh
kita naik motor? Gampang kan ke Sukuhnya?" kata Ranz.
Tapi aku
bergeming. :D
Sesampai
kawasan ini, aku melihat tulisan HOMESTAY di warung sederhana milik si Ibu yang
rumahnya kita inapi 7 tahun lalu. "Ah … dia sudah memberi tulisan HOMESTAY
di warungnya agar orang-orang tahu." kata Ranz. Tak jauh dari situ, di
sebelah kanan, aku melihat satu penginapan baru, bertulisan GRIYA SUKUH BUMI
DEWATA. Aku melangkah ke arah situ, ingin tahu kamarnya seperti apa dan harga
sewa berapa. Penginapan ini juga lumayan dekat dengan Sukuh.
Penginapan
ini jelas masih baru, bangunannya juga nampak masih baru, meski ketika aku
bertanya kepada yang menjaga bangunan penginapan ini sudah dibangun sekitar 2
tahun yang lalu. Lumayan banyak penginap sebelum pandemi. Dia membanderol Rp.
350.000,00 per kamar, yang kata Ranz, "Wih, dia berani pasang harga mahal,
di masa pandemi seperti ini." aku jatuh cinta pada balkon yang memiliki
pemandangan lembah dan sawah di kejauhan. Apalagi sore hari begitu, mudah
mendapatkan pemandangan sunset dari situ. Aku tambah jatuh cinta lagi ketika
melihat satu kamar yang terletak di sebelah kiri, samping balkon, jendela kaca
yang lumayan lebar memudahkan kita memandang lembah dan sawah itu hanya dari
kamar! Wow!
Tanpa
pikir panjang aku langsung memberi tanda setuju ke Ranz. Ranz sempat menawar,
"Dua kamar enamratus ribu nggih?" tapi oleh si penjaga tidak
dikabulkan. Padahal waktu berangkat dari rumah, aku berencana menginap di
HOMESTAY aku hanya menganggarkan dana maksimal duaratus ribu rupiah untuk
menginap kita berempat. Sekarang malah harus merogoh kocek sampai tujuhratus
ribu rupiah. Tapi Ranz memberi sinyal bahwa dia mau ikut membayar sejumlah
uang, aku cukup lega. Hohoho …
Dari
artikel yang kubaca di internet, aku tahu bahwa Candi Cetha dan Sukuh buka jam
09.00 sampai pukul 15.00 (sebelum pandemi buka jam 07.00 tutup jam 17.00) maka
aku tidak berharap bakal bisa masuk ke dalam area Candi Sukuh. Tapi, si penjaga
penginapan memberitahuku bahwa kita masih bisa masuk area, jika meminta izin ke
satpam. Meskipun begitu, aku merasa tidak nyaman. Aku mengajak Ranz, Angie dan
Fitri berjalan ke arah Tahura. Ternyata, di samping kanan Tahura ada satu
destinasi wisata baru: TENGGIR PARK. Kata seorang ibu penjaga warung disitu,
ini adalah area selfie.
Kita
berempat berjalan kesana. Melihat kawasan Tenggir Park yang nampak seperti
mendaki bukit, aku mendadak lelah, lol. Aku dan Ranz hanya berdiri di halaman
parkir yang cukup luas. Sementara itu, di jalan masuk Tahura, ada palang
penutup dengan tulisan di mmt TAHURA TUTUP SELAMA PANDEMI. Waduh, aku langsung
patah hati. Lha aku ke Sukuh tuh ya demi menjelajahi Tahura je. Kok malah ga
bisa masuk? Sementara aku dan Ranz berdiri sambil ngobrol, Angie dan Fitri
berjalan ke arah jalan setapak Tahura. Dari halaman parkir Tenggir Park ke
jalan setapak Tahura memang tidak ada pagar pembatas, yang berarti kita bisa
saja bebas masuk jalan kedalam. Apalagi kita juga melihat beberapa orang naik
sepeda motor keluar dari arah dalam Tahura.
Waktu itu
cuaca mendung. Sekitar pukul setengah lima Ranz mengajak balik ke penginapan.
Dia ingin mencoba peruntungan memotret sunset dari arah balkon penginapan.
Namun, mendung benar-benar tebal, menutupi sinar matahari.
Sekitar 20
menit kemudian, mendadak matahari muncul dari balik awan. Waaah … penjaga
penginapan meyakinkan kita bahwa sore hari begitu cahaya di kawasan candi
sedang bagus-bagusnya. Dia bilang dia sudah menelpon satpam yang menjaga candi
bahwa tamunya akan berkunjung sebentar. Akhirnya kita berempat
berbondong-bondong ke candi, mumpung sang mentari nampak bersinar.
Meski pak
satpam membolehkan kita masuk, dia meminta kita untuk tidak stay lama di dalam. Aku malah jadi tidak
jenak. Ada 3 orang lain lagi yang juga diijinkan masuk waktu itu, selain kita
berempat. Kulihat yang seorang dari mereka melakukan sembahyangan, sedangkan
yang 2 orang hanya mengikuti dari belakang. Saat mereka melakukan meditasi di
depan candi, aku mau ikutan duduk bersila, Ranz langsung menegurku, "Ga
usah ikut-ikutan. Pak satpam tadi bilang jangan lama2." hadeeeh …
benar-benar tidak menyenangkan. :(
Akhirnya
kita berempat cepat-cepat meninggalkan lokasi, saat kita lihat matahari kembali
bersembunyi di balik awan. Kita langsung kembali ke penginapan.
Malam itu
kita makan malam dengan memesan nasi goreng 2 porsi dan mie goreng 2 porsi ke
penjaga penginapan, entah mereka memesannya dari mana. :) Kita makan di balkon
sambil ngobrol. Setelah itu, kita masuk ke kamar masing-masing. Hawa dinginnya
masih okelah, masih bisa dinikmati dengan syahdu. :D
Sekarang
waktu menulis ini aku nyesel, kenapa kita ga mencoba keluar penginapan untuk
melihat suasana di luar seperti apa ya, saat malam begitu? 7 tahun yang lalu
waktu menginap disini, malamnya hujan, jadi kita ya hanya ngendon di dalam
kamar.
Minggu 2
Agustus 2020
Pagi itu
ternyata aku mager. :D Jika 7 tahun yang lalu sekitar pukul enam pagi aku sudah
'menyeret' Ranz untuk keluar jalan-jalan melihat suasana sekitar -- termasuk
masuk ke Tahura -- kali ini aku dan Ranz masih sama-sama mager. Apalagi dari
kamar, kita bisa menikmati pemandangan lembah dari jendela yang cukup lebar.
Sengaja aku meminta Ranz untuk tidak menutup korden agar dari dalam kamar kita
bisa menatap langit, sekaligus memandang cahaya lampu yang banyak berpendar di
kejauhan.
Jam tujuh
aku dan Ranz sudah mandi. Fitri ternyata sudah keluar, untuk berolahraga,
sementara Angie masih nyantai di kamar, dia belum mandi. Karena sarapan belum
juga disediakan, aku bertanya ke penjaga jam berapa sarapan diantar. Ternyata,
mereka menunggu kita mau pesan sarapan apa, lol. Menunya sama dengan yang
semalam, hanya ada nasi goreng dan mie goreng. Untuk minum bisa memilih teh
atau kopi.
Jam
delapan seperempat, setelah sarapan dan packing, aku dan Ranz keluar berjalan
menuju Tahura. Seperempat jam kemudian, Angie mengabariku bahwa dia dan Fitri
akan menyusul. Kita berjalan di jalan setapak Tahura pelan-pelan; sering kali
kita berhenti untuk foto-foto. Hingga di satu lokasi dekat tempat
berselfie-ria, mereka bertiga berhenti, aku yang penasaran masih terus berjalan
hingga sampai di kawasan dimana ada petunjuk "Camping ground. Office.
Tempat parkir." aku berhenti disitu, sembari memotret petunjuk itu.
Kemudian balik ke tempat Ranz, Angie, dan Fitri menungguku.
Jam
setengah sepuluh, Angie dan Fitri kembali ke penginapan, aku mengajak Ranz
masuk ke Candi Sukuh. Harga tiketnya sama dengan harga tiket masuk ke Candi
Cetha: Rp. 10.000,00. Saat mengenakan kain batik yang dililitkan ke sekitar
pinggang, kita juga diminta menyumbang seikhlasnya.
Jam 10
lebih aku dan Ranz balik ke penginapan. Ternyata Angie dan Fitri menunggu
kedatanganku dengan leyeh2 di kamarku, Angie ngiri karena dari kamar yang
kuinapi bersama Ranz memiliki jendela kaca besar sehingga kita bisa menikmati
pemandangan lembah dengan hanya leyeh2 di tempat tidur. Hihihi …
Jam
setengah sebelas, kita meninggalkan penginapan. Kita menuju Telaga Madirda yang
terletak kurang lebih 1,5 kilometer dari Sukuh. 7 tahun yang lalu rasanya jauh
sekali, karena meski 'hanya' terletak kurleb 1,5 kilometer, namun dengan trek
naik turun yang curam, dan kita naik sepeda, kita butuh waktu lama untuk
mencapainya, lol.
To our
disappointment, Telaga Madirda yang dulu sunyi (meski waktu aku dan Ranz kesana
7 tahun yang lalu ada rombongan orang yang camping) sekarang ramai sekali!
Meski pandemi, tetap banyak orang yang datang. Duh, ga nyaman banget. Mana
Angie sudah terlihat manyun, lol, dia inginnya kita sudah sampai rumah Semarang
sebelum maghrib.
Tiket
masuk Telaga Madirda juga dibanderol Rp. 10.000,00 per orang. Namun, karena aku
dan Ranz sudah telanjur patah hati melihat suasana yang ramai sekali, ditambah
Angie yang pingin buru-buru balik, kita ga lama berada di dalam. Ga ada 15
menit kemudian kita sudah keluar. Di jalan yang menuju Tawangmangu, jalanan
terlihat cukup padat dengan mobil-mobil yang menuju Tawangmangu. Pandemi? New
normal? Ga terlihat tanda-tanda seperti itu. Kondisi sudah seperti balik ke old
normal. Hmft …
Sebelum
pukul 14.00 kita sudah sampai di Tenda Biru, tempat kita makan siang. Usai
makan siang, kita mampir ke rumah Ranz sebentar. Pukul 15.00 aku, Angie, dan
Fitri sudah on the way ke Semarang.
Pukul
17.30 aku dan Angie sudah sampai rumah, safely. Alhamdulillah.
Sampai
jumpa di kisah jalan-jalan kita berikutnya!
PT56 22.34
09/08/2020