Tulisan ini ter-trigger pada satu status yang ditulis oleh seorang kawan media sosialku. Aku menulis komentar yang seperti ini.
*****
Ini adalah pengalaman ayah ibu, yang dulu dikisahkan oleh almarhumah Ibu ketika aku masih kecil. (so, yang kuingat ya hanya sebagian, ada bagian lain yang aku tidak ingat.)
Ayah Ibu menikah pada tahun 1962. Tidak lama kemudian -- sekitar 5 hari setelah their wedding day -- Ayah memboyong Ibu ke kota Semarang. Ibu bercerita bahwa Ayah sudah pindah ke kota Semarang setelah Ayah lulus SMP di kota kelahirannya, Gorontalo. Bersama kakak perempuannya yang juga waktu itu pindah ke Semarang. Tapi, aku tidak ingat apakah Ibu juga bercerita apa yang membuat 'Budhe' ini tak lagi tinggal di Semarang saat aku bersaudara telah lahir.
Ayah dan Ibu belum saling kenal sebelum mereka menikah. Di usianya yang ke-29, Ayah pulang ke Gorontalo untuk 'mencari jodoh'. Konon, Ayah pernah dijodohkan dengan seorang perempuan yang waktu itu tinggal di Makassar (entah siapa yang menjodohkan, aku tidak ingat apakah Ibu bercerita juga tentang hal ini.) Dari Semarang, Ayah ke Makassar untuk menemui perempuan ini. Namun, ternyata si perempuan tidak bertarik untuk melanjutkan 'perjodohan' itu. (mungkin karena dia sudah punya pacar.) Maka, Ayah pun melanjutkan perjalanan ke Gorontalo, menengok tanah kelahirannya.
Di Gorontalo, Ayah bertanya ke saudara-saudara adakah yang punya anak perempuan yang bisa dijodohkan dengannya. Ibu yang masih sekolah di SGTK kelas 1, disodorkan ke Ayah sebagai calon jodohnya. (entah oleh siapa, aku tidak ingat.) Ayah pun datang ke rumah Ibu -- yang sebenarnya masih terhitung sepupu. Mereka berdua sama-sama memiliki nama fam PODUNGGE.) Ayah ternyata langsung naksir Ibu. (uhuk, lol.)
Kakek nenek yang sudah punya rencana menikahkan kakak Ibu, langsung menawari Ayah untuk segera melangsungkan pernikahan dengan Ibu, sehingga di hari yang sama, kakek nenek sekalian 'mantu' dua anak perempuannya. Setelah Ayah melamar Ibu, ternyata Ibu pun menerima lamaran itu. Waktu aku bertanya mengapa Ibu mau menikahi Ayah yang sama sekali tidak dia kenal, jawabannya, "Lha Bapakmu ganteng je." lol. Akhirnya aku tahu mengapa aku suka melihat lelaki ganteng: aku menuruni Ibu. wakakakaka ...
In short ...
Baru setahun kemudian setelah menikah, Ibu hamil. Kakak pertama lahri di tahun 1964. Akan tetapi, kakak ini meninggal di usia 5 bulan, karena sakit muntaber. Tidak lama setelah itu, Ibu hamil lagi. Kakak kedua lahir di tahun 1965, sekitar 2 minggu setelah peristiwa G30 S PKI. Sejak lahir, kakak (kedua) ini sakit-sakitan terus menerus. Hal ini membuat Ayah Ibu berpikir bahwa apa yang terjadi pada mereka ini 'dibuat' oleh seseorang. Karena pikiran inilah, Ayah Ibu bertanya pada seorang 'pintar', sesama orang Gorontalo yang tinngal di Semarang. Dia bilang bahwa memang ada seseorang yang 'memasukkan' sesuatu ke diri Ayah, saat Ayah Ibu menikah. Si orang ini melakukannya saat ikut 'siraman' di hari pernikahan Ayah Ibu. (I can conclude that this 'culprit' was one relative of my parents.)
Si orang pintar pun mengatakan untuk memerangi 'pengaruh jahat' ini, Ayah dan Ibu harus melakukan beberapa ritual. Aku sudah lupa apa saja; salah satunya adalah Ayah harus mandi malam-malam, menggunakan air yang diambil dari beberapa sumur. Aku tidak ingat berapa kali, dan apakah melakukannya harus malam Jumat atau di malam lain. Dan Ayah harus melakukannya berapa kali, dan berapa lama.
Si orang pintar menyarankan Ayah Ibu untuk memiliki anak lagi. Si bayi inilah nanti yang diharapkan akan membawa 'tanda' bahwa pengaruh jahat yang 'ditanamkan' di diri Ayah sudah hilang.
2 tahun kemudian setelah itu, aku lahir. Aku pun dibawa ke orang pintar itu untuk 'dilihat'. Alhamdulillah aku dinyatakan membawa keberuntungan untuk keluarga.
Kata Ibu, setelah itu, kehidupan Ayah Ibu tidak lagi diganggu sakit-sakitan. Kakak pun langsung sehat wal afiat.
*****
Saat menulis ini, aku baru ingat apa yang dikatakan oleh Ranz. (Check this link, please.) Mungkin, 'aura' yang dilihat Ranz inilah yang juga dilihat oleh 'orang pintar' teman Ayah Ibu ini.
Mungkiiiin ...
*****
"Oh, kamu percaya ya mbak? kulihat kamu kan orang modern, kupikir ga bakal percaya hal beginian." komentar si penulis status, saat aku bilang, "aku percaya santet dan sejenisnya."
Well, honestly I am in between about this stuff: mau percaya kok piye, ga percaya kok ya piye. Dulu, Ayah Ibu bertekad untuk tidak kembali ke Gorontalo karena hal-hal ini. Aku masih ingat waktu aku masih kecil, banyak hal yang harus kami hindari; satu hal 'sepele' yang aku ingat adalah aku tidak dibolehkan menyisir rambut di malam hari di depan cermin karena di Gorontalo, jika melakukan hal ini, maka akan muncul hantu di cermin. Herannya, kata Ibu, hal ini tidak terjadi di Semarang.
Setelah tumbuh dewasa, aku baru tahu bahwa pelaku santet ini tidak hanya di Gorontalo, tapi juga terjadi di banyak tempat lain, di pulau Jawa juga.
Barangkali memahami 'map of consciousness' oleh Hawkins di atas bisa menjadi pedoman kita bagaimana agar kita bisa menangkal hal-hal yang tidak kasat mata ini. Kita harus selalu mampu 'berkesadaran' tinggi, agar tidak mudah 'dimasuki'.
Jadi ingat seseorang yang di tahun 2009 lalu kadang menelponku dan kami bisa ngobrol sampai berjam-jam via telpon. Waktu aku bilang, "When I was religious, I used to bla bla bla ..." (mengacu ke hal-hal yang tidak kasat mata ini ya.) "But now after I am no longer religious, I am even bla bla bla." Komentarnya, "Kalau ini kupikir justru kamu dulu itu hanya setengah relijiyes, malah kamu bisa 'dimasuki'. Sekarang setelah kamu blas tidak percaya hal-hal yang tidak kasat mata ini, 'pertahanan'mu malah kuat."
Well, if you understand what I mean.
PT56 18.15 05 January 2025