Istilah ‘dosa waris’
dalam bidang pendidikan pertama kali kudengar dari seorang (ex) rekan kerja
mungkin sekitar dua dekade yang lalu. Mengingat kita adalah guru Bahasa
Inggris, contoh yang paling sering kita bahas waktu itu adalah pronunciation
yang salah. Jika seorang guru salah mengajarkan pronunciation sebuah kata,
(mungkin dikarenakan malas ngecek kamus), maka bisa dipastikan anak didiknya
akan salah juga cara membaca kata tersebut. Jika anak didiknya ternyata menjadi
guru, dan ‘take it for granted’ tanpa ngecek kamus, dia juga akan mengajarkan
cara membaca yang salah.
Misal waktu aku duduk
di bangku SMP, guru Bahasa Inggrisku mengajari cara membaca ‘flour’ seperti
tulisannya /flour/. Guru waktu SMA juga membacanya sama, maka kupikir memang
begitulah cara membacanya. Sampai akhirnya aku menjadi guru, bertemu sebuah
buku dimana di dalamnya berisi berbagai jenis games, salah satunya adalah
‘homophones’. Yang dimaksud ‘homophones’ dalam Bahasa Inggris adalah ada dua
atau lebih kata yang cara membacanya sama namun penulisannya berbeda, misal
/eyes/ dengan /ice/, /two/ dengan /too/ atau /to/. Nah, di lembar game ini lah
aku menemukan kata /flour/ yang disamakan pronunciationnya dengan /flower/.
Tentu saja aku kaget dan langsung ngecek kamus. To my surprise, aku baru nyadar
bahwa sekian tahun aku pun telah membaca kata ‘flour’ dengan salah.
Satu kata lain lagi
adalah kata ‘vehicle’. Guru SMA-ku membacanya /vihaikel/. Waktu kuliah S1
dengan pede aku membacanya /vihaikel/. Di satu kesempatan, aku disalahkan oleh
seorang teman sekelas, karena katanya cara membacanya adalah /vi’ikel/. Karena
tidak terima (mosok guruku salah?) aku langsung ngecek kamus, dan mendapati ...
memang guruku yang salah cara membacanya.
Pengucapan yang salah
mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan mengajarkan teori yang salah.
Ini pernah (nyaris) kualami ketika kuliah di Program Studi American Studies.
Untung waktu itu di tengah kebingunganku dan kawan2 sejurusan, ada seorang
dosen yang baru pulang dari negara Paman Sam menjelaskannya.
Menyimak obrolan di
grup yang berjilid-jilid di grup mengingatkanku pada istilan 'dosa waris' ini.
Kata 'absen' yang diambil dari Bahasa Inggris memiliki makna tidak hadir, namun
dalam Bahasa Indonesia bisa berubah makna menjadi 'kehadiran'; frase 'DAFTAR
ABSENSI' bermakna 'DAFTAR KEHADIRAN'. Kata 'bergeming' yang memiliki arti
'diam' alias 'tidak bergerak' namun oleh banyak jurnalis disalahatuliskan dalam
artikel-artikel mereka hingga malah memiliki makna sebaliknya. Berarti kita
bisa menyimpulkan bahwa media pun bisa menjadi sumber dosa waris, lol.
Kalau kata 'rock'
dalam genre musik diterjemahkan menjadi 'cadas', mungkin berasal dari kata
'rock' yang bisa diartikan batu dan batu memiliki kemiripan dengan cadas
alias lapisan tanah yang keras.
Kata mbak peneliti
Mamanya dik Marjan, kita sebaiknya mengacu ke KBBI yang pastinya ditulis oleh
ahli Bahasa yang dianggap memiliki kompetensi untuk mengecek satu kata memiliki
arti yang telah dibakukan dalam Bahasa Indonesia atau belu. Atau, jangan-jangan
para ahli bahasa itu bisa jadi juga menyebarkan dosa waris? Wkwkwkwk …
Kalau kata jeng ayu
Ike, tulisan ini menunjukkan bahwa aku termasuk orang yang punya waktu luang
seluang-luangnya dan tak lagi butuh mengejar mengumpulkan harta. Wkwkwkwk …
Semarang 24 November
2021