"Every
girl may not be the queen to her husband,
but she is always a princess to her
father."
Waktu
'menemukan' meme ini, aku ingat seorang kawan (laki-laki) yang nampak
memiliki hubungan yang begitu romantis dengan anak perempuannya. Aku juga ingat
seorang teman sekolah dulu yang juga memiliki pengalaman yang mirip. Kemudian
aku share meme itu di satu grup alumni, postingan itu mendapatkan 'reaction'
lebih dari 200, dan puluhan komen yang semua mendukung pernyataan itu. Bahkan
ada satu komen yang mengatakan bahwa dia memiliki 3 anak perempuan, dan
semuanya adalah princess baginya.
Hubunganku
dengan almarhum ayahku dulu tidak seromantis kawan sekolah yang kutulis di
atas. Ayahku mungkin termasuk tipe orangtua jadul yang membuatnya merasa perlu
menjaga citra di depan anak-anaknya. Begitu aku mengingat beliau. Tapi tentu
aku tidak tahu bagaimana perasaan beliau terhadapku, anak perempuan pertamanya.
(kakakku 2 laki-laki, yang satu meninggal di usia 5 bulan, yang satu meninggal
tahun 2019, di usia 53 tahun. 2 adikku perempuan semua.) Meskipun begitu, aku
ingat, cerita ibuku bahwa ayahku begitu bahagia ketika tahu bahwa anak
ketiganya perempuan, ketika menggendongku pertama kali, beliau memanggilku,
"Nona." mungkin begitu kaum laki-laki Gorontalo memanggil anak
perempuan pertamanya? Ibuku yang 'mengubah' nama NONA menjadi NANA karena
katanya satu saat nanti setelah dewasa, dan aku menikah, mosok akan dipanggil,
"Ibu Nona", atau 'Nyonya Nona". Hihihi …
Tidak
banyak yang kuingat dari hubunganku dengan ayahku.
Waktu SD
-- kelas 1, 2, 3 -- ayahku yang mengajariku dan kakakku membaca Alquran. Aku
yang dikaruniai otak lebih encer dibanding kakakku bisa dengan mudah membaca
huruf-huruf hijaiyah itu, maka ayahku nampak tidak pernah emosi ketika
mengajariku, namun beliau sering nampak emosi ketika mengajari kakakku. Ah …
jadi ingat, waktu kecil dulu aku dan kakakku akrab sekali. Jika kakakku
dimarahi ayah, aku yang menangis, sampai beliau bingung, yang dimarahi kakaknya
kok yang nangis adiknya. :)
Ayahku
juga yang mengajari Matematika saat masih SD. Beliau mengajari aku dan kakakku,
membuatkan soal-soal cerita, dll. Aku selalu dengan mudah mengerjakannya,
sedangkan kakakku harus mati-matian mengerjakannya. (Padahal beliau sibuk
bekerja, tapi masih sempat mengajari membaca Alquran dan Matematika.)
Waktu
lulus SD (MI Al-Khoiriyyah 1 Semarang), ayahku menawari aku melanjutkan sekolah
di sekolah yang sama atau ke Muhammadiyah, seperti kakakku. Aku tidak mau satu
sekolah dengan kakakku, lol, maka aku memilih melanjutkan ke SMP (Madrasah
Tsanawiyah) Al-Khoiriyyah, ayahku mengiyakan. Namun ketika ada seorang kawan
mengajakku mendaftar ke SMP N 1 Semarang, aku bilang ke ayahku, dia langsung
antusias, dan membolehkanku. Syukurlah aku keterima, ga jadi balik ke sekolah
lama, lol.
Saat
duduk di bangku SMP, aku ikut kegiatan ekstra kurikuler karate (karena
terinspirasi tokoh2 di komik milik Kho Ping Hoo yang dulu disewa oleh kakak sepupuku
yang pernah mondok di Gontor, namun selama libur Ramadhan tinggal di Semarang).
Ketika ada tes kenaikan (aku ingat dulu diadakan di STM Pembangunan, kadang di
masjid Baiturrahman) ayahku yang mengantar dan menunggu sampai selesai.
Saat
lulus SMP, dan akan mendaftar SMA, aku ingin melanjutkan ke SMA N 3, satu
sekolah favorit. Ayahku menawar, "Tidak ke SMA N 6 saja?" beliau
khawatir jika aku tidak keterima di SMA N 3 karena setahun sebelumnya, kakakku
gagal diterima di sekolah yang terletak di seberang balaikota Semarang itu. Aku
jawab, "Trust me, I know my capability." (eh, tidak dalam Bahasa
Inggris ding, dalam Bahasa Indonesia saja, :) ) dan, ya, aku diterima.
Waktu
akan penjurusan menjelang semester 2, ayahku menyarankan aku masuk ke IPS,
diam-diam beliau ingin aku kuliah di Fakultas Hukum. "Jadilah hakim yang
adil, seorang hakim kaki kanannya ada di surga, kaki kirinya ada di neraka,
jadi terserah Nana, mau memilih seorang hakim yang adil atau sebaliknya."
namun aku tidak tertarik. Kemudian ayahku menawar, "Ambil Ekonomi saja,
Nana ga ingin bekerja di Bank kayak Papi?"
Tapi aku yang keras kepala tetap ingin masuk jurusan Bahasa. Dan ayahku
yang demokratis membiarkan aku masuk jurusan yang aku idamkan.
Saat
dapat formulir pendaftaran PMDK, diam-diam aku mendaftar di Universitas Gadjah
Mada Fakultas Sastra jurusan Sastra Inggris. Aku diam-diam melakukannya karena
khawatir orangtua tidak akan mengizinkanku keluar kota. Namun setelah ada
pengumuman resmi aku diterima di UGM, waktu pulang dari sekolah, aku langsung
ke kantor ayahku, mengabarinya, "Nana keterima di UGM." dan beliau
bengong, hihihi. Tentu aku jauh lebih dekat dengan ibuku, namun saat itu, entah
mengapa, aku lebih memilih mengabari ayahku terlebih dahulu, baru pulang ke rumah.
Sorenya, saat ayah pulang dari kantor, ibuku mengabari, "Nana keterima di
UGM.' ayahku dengan tenang menjawab, "Sudah tahu, tadi siang Nana ke
kantor, ngabari." hihihi …
Tanpa aku
tahu, 2 tahun setelah aku lulus SMA, ayahku pensiun. Seperti orang-orang lain
yang pensiun, tanpa aku tahu, ayahku sebenarnya merasa gelisah akankah
keuangannya cukup untuk membiayai 4 orang anak, dengan 1 anak kuliah di luar
kota. Yang aku tahu 'hanya' kekhawatiran orangtua anak perempuannya akan kuliah
di luar kota. Ibuku sempat bilang, "Ga usah lah melanjutkan kuliah di
Jogja. Di Semarang saja." aku beralasan ini itu itu ini. :)
Meskipun
begitu, saat akan dikarantina selama 2 hari (saat itu, calon mahasiswa yang
keterima via PMDK dikarantina selama 2 hari ketika lulusan SMA lain tes masuk
perguruan tinggi, yang saat itu disebut SIPENMARU, seleksi penerimaan mahasiswa
baru), ayahku yang mengantar ke Jogja. Kita menginap dua malam di rumah (eks)
kawan kerja ayah yang pindah ke Jogja.
Tahun
1987, ayahku berangkat naik haji sendiri. Waktu seorang sepupu yang sedang
kuliah di Jogja bertanya, "Kenapa Tante Ida ga berangkat sekalian bareng
Om?" aku jawab, "Karena Mami harus menjaga 3 orang anak di
rumah," sepupuku bilang, "Loh, kan bisa bilang sama saya. Nanti saya
akan ke Semarang untuk menjaga adik-adik."
Tahun
1988 gantian ibuku yang berangkat naik haji. Saat ini ayahku sudah pensiun.
Kebetulan waktunya berbarengan dengan libur panjang semester genap, maka selama
ibuku pergi, aku di Semarang. Ayahku mengajariku menyetir mobil, mencarikan SIM
A untukku. Hampir tiap pagi kita pergi ke pasar belanja, aku benar-benar
menggantikan posisi ibuku di rumah selama satu bulan lebih.
Tahun
1989 bulan September ayahku meninggal, setelah dirawat di rumah sakit selama
kurang lebih satu minggu, itu adalah pertama kali ayahku sakit dan dirawat di
rumah sakit. Saat pertama kali dibawa ke rumah sakit, beliau bilang,
"Tidak usah ngabari Nana, nanti dia tidak bisa konsentrasi kuliah."
namun ibuku akhirnya menulis surat
mengabari (belum ada telpon di rumah, juga belum ada telpon di rumah kos yang
kutinggali) bahwa ayahku masuk rumah sakit. Surat dikirim hari Jumat, sampai
kos hari Sabtu siang. Setelah membaca, aku langsung pulang ke Semarang. Tidak
ada yang menunggu beliau di rumah sakit karena dengan halus beliau mengusir ibu
dan kakak adikku saat bezoek di sore hari, "Sana kalian pulang. Nanti
kalau Nana pulang, rumah dalam kondisi terkunci, Nana tidak bisa masuk
rumah," demikian cerita ibuku.
Aku tidak
punya firasat apa pun, jadi setelah sampai Semarang, aku tidak merasa perlu
harus langsung ke rumah sakit untuk menjenguk ayahku. Kebetulan aku sampai
rumah tak lama setelah ibu dan kakak adikku sampai rumah. Ketika kita sedang
ngobrol-ngobrol di ruang makan, tahu-tahu ada utusan dari RS Telogoredjo
datang, meminta kita ke rumah sakit. Ayahku 'nglimpe' kata ibuku. Beliau ingin
istri dan anak-anaknya pulang karena beliau ingin pergi tanpa memandang wajah
penuh isak tangis di sisinya. Mungkin.
Mungkin
yang memiliki waktu-waktu 'romantis' dengan ayahku hanya aku, dibanding kakakku
dan dua adikku. Kakakku mungkin tidak merasa begitu nyaman dengan ayahku karena
pengalaman waktu kecil dulu, ayahku nampak lebih sayang kepadaku dibanding dia.
Sedangkan dua adikku masih lebih kecil, apa lagi adik bungsuku, tidak banyak
yang dia ingat dari ayahku; saat ayah kita meninggal, dia baru berusia 12
tahun.
Mungkin
saja ayahku memandangku sebagai his princess, meski beliau tidak seromantis
ayah kawan SMAku.
Al
fatihah, Papi. Rest in peace forever. I love you.
PT56
18.48 06/11/2020
No comments:
Post a Comment