Aku ingat ketika
masih duduk di bangku SD, lupa kelas berapa, seorang guru bercerita tentang apa
yang terjadi setelah seseorang meninggal. Jika seseorang memiliki amalan yang
baik selama hidup di dunia, misal, melakukan semua perintah Tuhan (menyembahNya
sesuai 'tata cara' dalam agama dan memperlakukan sesama makhluk dengan baik,
berarti memiliki hablum minallah dan hablum minannas yang baik) dan menjauhi
semua laranganNya, maka setelah meninggal, orang itu 'tinggal di alam kubur'
dalam damai. Dia akan seperti 'tidur' nyenyak, hingga tiba hari 'kebangkitan'
datang. Maka, meski 'hari kebangkitan' itu bisa jadi baru datang ribuan tahun
lagi, dia tidak akan merasa lama, karena tidurnya yang super nyenyak. Namun
jika seseorang itu melakukan yang sebaliknya, dia akan terus menerus disiksa di
alam kuburnya. Jangankan menunggu 'hari kebangkitan' yang mungkin akan datang
ribuan tahun lagi, dalam hitungan jam saja, dia sudah tidak tahan.
Tentu saja menjaga
hablum minallah dan hablum minannas yang baik tidak semudah yang diomongkan
orang. Itu sebab Nana kecil lebih 'fokus' pada siksa kubur yang tak habis-habis
hingga ribuan tahun lamanya. Ini sebab kematian adalah satu hal yang sangat menakutkan
bagiku. Dulu.
**********
Sekian puluh tahun
berlalu.
Nana yang dulu
bersekolah di madrasah ibtidaiyah menyeberang ke ranah agnostik, setelah waktu
kecil dulu terbrainwash menjadi seseorang yang 'relijius Islam'. Sekian dekade
berikutnya, Nana membiarkan cara berpikirnya 'meliar' melepaskan diri dari
brainwash yang telah membayang-bayangi puluhan tahun.
Lalu, bukankah
kematian tak lagi menakutkan? Karena seorang agnost itu tak mudah percaya (apa
bukti Tuhan itu ada/tak ada? Apa bukti siksa kubur itu ada/tak ada? Apa bukti
kehidupan di alam akhirat itu ada/tak ada? Dst … dst … Semua hal adalah
keragu-raguan bagi seorang agnost.)
Akhir-akhir ini
(Juli 2019) pengguna medsos (facebook) sedang hobi bermain 'faceapp'. Salah
satu kawan facebook memainkannya, sembari menulis kepsyen, "aku ga ingin
hidup setua ini. Yang penting jika anakku sudah siap mandiri, aku sudah siap
mati." kujawab, "aku masih ingin hidup lama, yah sekitar 20 - 30
tahun lagi, ingin melihat selepas dipimpin oleh Pak Jokowi, apakah Indonesia
akan seberuntung ini dipimpin oleh seorang presiden yang bisa dikategorikan
'telah selesai dengan dirinya sendiri.' apakah Indonesia justru akan mengalami
kemunduran, seperti Jakarta selepas 'ditinggal' Ahok." Jawabannya,
"ah, sebagai minoritas, aku sudah pesimis sih mbak. Pinginku jika bisa
mengirim anakku tinggal di luar negeri, sudahlah." obrolan kita masih ada
kelanjutannya …
Well, memang sebagai
seseorang yang tentu memiliki curiosity yang cukup tinggi, aku jujur, aku
sangat ingin tahu what will Indonesia be like 20 - 30 years later. Jika
berbincang tentang kematian dan kondisi politik di Indonesia, entah mengapa aku
sedikit menyesalkan mengapa ayahku meninggal dalam usia yang masih cukup muda, 56 tahun,
sehingga beliau tidak sempat mengalami rezim OrBa ditumbangkan oleh kekuatan
rakyat. Meski dulu aku dan ayahku tidak pernah berbicang tentang kondisi
politik ini, aku tahu beliau tidak menyukai OrBa.
Aku serius menulis
komen seperti itu di lapak kawan itu. Tapi, kemudian aku bertanya pada diri
sendiri, apakah sebenarnya di bawah lapisan kesadaran, aku masih menyimpan
ketakutan yang dulu kusimpan puluhan tahun gegara brainwashing yang dilakukan
oleh guru SD itu? Hingga aku terkesan ingin 'menunda' kematian hingga 20 - 30
tahun lagi? Bukankah usia itu misterius?
Melepas kemelekatan
memang tidak semudah membalikkan tangan. Seberapa pun pahit hidup ini, kita
tetap bisa memilih untuk berbahagia, bukan? Mungkin itu sebab aku begitu
mencintai hidupku, dan belum siap untuk berpindah ke dimensi berikutnya. Aku
masih ingin menemani anakku menikmati hidupnya, hingga (who knows) dia
menemukan tambatan hatinya dan beranak pinak.
LG 18.21
27-Juli-2019
No comments:
Post a Comment