diambil dari link ini |
Barangkali pengaruh
orangtua sangat kuat dalam pencarian sekolah 'favorite', namun juga bisa tidak.
Tiap orang tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda. Ini pengalaman saya.
Untuk masalah
pendidikan, seingat saya orangtua saya tidak mengajari anak-anaknya tentang
sekolah favorit ini. Waktu saya dan kakak masih kecil, kita dimasukkan ke satu
sekolah yang lokasinya dekat sekali dari rumah, kira-kira hanya butuh 2 menit
untuk berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Kita berdua berangkat sekolah,
Madrasah Ibtidaiyah Al-Khoiriyyah I, setelah mendengar bel masuk berbunyi. :)
Setelah lulus SD,
kakak memilih melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah, yang lokasinya lumayan
jauh dari rumah. Saya tidak tahu apakah ini atas anjuran orangtua atau
bagaimana. Namun saat saya lulus SD, ayah menawari saya apakah saya ingin
melanjutkan sekolah di sekolah yang sama, Madrasah Tsanawiyah Al-Khoiriyyah I,
atau ke SMP Muhammadiyah. (Saat itu para siswa perempuan di sekolah
Muhammadiyah belum wajib mengenakan kerudung, sementara di Al-Khoiriyyah siswa
perempuan sudah wajib mengenakan kerudung sejak kelas 3 SD.) Karena saya tidak
mau satu sekolah (lagi) dengan kakak, saya memilih 'stay' di sekolah yang sama.
Padahal saya bosan sekolah disitu karena lokasinya yang terlalu dekat rumah,
sehingga rasanya saya kurang dolan. Lol.
Saya sudah mendaftar
di Madrasah Tsanawiyah Al-Khoiriyyah, sudah dinyatakan diterima, ketika seorang
kawan mengajak mendaftar ke SMP N 1, salah satu SMP favorit waktu itu, tapi
saya tidak 'ngeh'. Maklum, saya masih super kuper. Lol. Untunglah orangtua setuju,
bahkan Ibu saya mengantar saya mendaftar sekolah yang mulai pindah ke Jalan
Ronggolawe, dari Jalan Pemuda, di belakang Balaikota.
Setelah pengumuman,
dan saya diterima di SMP N 1, (kawan yang mengajak saya malah tidak diterima),
orangtua menawari saya, "Mau lanjutin sekolah dimana? Di Al-Khoiriyyah
atau SMP N 1?" ah ya tentu saja saya memilih sekolah 'baru', bisa 'dolan' rada
jauh, dan tidak perlu satu sekolah dengan kakak. Hohohoho …
Setelah saya
dinyatakan diterima di SMP N 1, beberapa tetangga bertanya, "Kok kamu bisa
diterima di SMP N 1 Na? Bagaimana caranya?" dengan lugu saya jawab apa
adanya, "Gampang kok, tinggal ndaftar, ikut ujian penerimaan siswa baru.
Keterima. Sudah." kadang, ada pertanyaan lanjutan, "Orangtuamu bayar
berapa?" saya jawab, "Ga bayar kok, kecuali uang pendaftaran. Itu
saja."
Saya masih ingat
wajah-wajah tetangga yang tidak percaya pada saya. :D mimik wajah yang membuat
saya heran, mengapa orang-orang itu begitu kepo? Ada apa?"
Di hari pertama
masuk SMP, saya bertemu beberapa kawan SD yang juga ikut tes masuk SMP N 1, dan
dinyatakan tidak lulus tes, namun tetap masuk di sekolah itu. Dengan lugu, saya
bertanya, "Lho, kok kamu bisa masuk sekolah sini?" dasar sama-sama masih
kanak-kanak, dan lugu, kawan-kawan bercerita orangtua mereka membayar sejumlah
uang ke kepala sekolah.
Dan, saya belajar
untuk lebih dewasa, lebih 'memahami hal-hal yang dulu terlalu jauh untuk
dijangkau'. Hihihihi …
Bersekolah di SMP N
1, saya akhirnya 'ngeh' bahwa ada sekolah favorite, ada sekolah yang
biasa-biasa saja, padahal orangtua tidak mengajari saya tentang hal ini.
Prestise mendadak menjadi tinggi jika kita
bersekolah di sekolah yang dianggap favorite di satu kota.
Setelah lulus SMP,
saya berambisi untuk melanjutkan ke SMA N 3, sekolah negeri terfavorite di
Semarang, demi prestise diri. Padahal waktu itu Ayah pinginnya saya masuk SMA N
6 saja, sama-sama sekolah negeri namun persaingan untuk masuk tidak seketat ke
SMA N 3, namun tidak saya ikuti. Saya tahu kemampuan saya, dan syukurlah
diterima disana. :)
Alhamdulillah saya
juga diterima kuliah di satu universitas favorite di Indonesia, UGM Jogja.
Apakah
bersekolah/kuliah di sekolah/universitas favorite menjanjikan masa depan
cemerlang? Yang mungkin dikonotasikan duit banyak, mampu beli rumah dan mobil
dan lain sebagainya?
Setelah bertemu
kembali dengan kawan-kawan lama, (SMP/SMA) ternyata kawan-kawan yang dulu tidak
seberuntung saya masuk ke SMA atau pun kuliah di universitas favorite, banyak
juga yang nampak hidup berhasil, dengan kategori bisa mencari uang banyak --
entah bekerja entah memiliki usaha sendiri -- sehingga nampak hidup makmur.
Ketimbang saya yang kesana kemari naik sepeda. #ehhh …
=======================
Waktu Angie akan
masuk SD, saya ingin dia bersekolah di SD Siliwangi Semarang karena kawan-kawan
SMP dulu yang lulusan sana terlihat cerdas dan pede. Siapa yang tidak ingin
anaknya cerdas dan pede? Dan … nasib baik senantiasa mendampingi Angie. Setelah
lulus SD Siliwangi, dia melanjutkan ke SMP N 1 -- meski di zamannya pamor SMP N
1 sebagai sekolah paling favorite telah tergeser. Dari SMP N 1, dia bisa masuk
ke SMA N 3, sekolah negeri terfavorite di Semarang, sejak zaman saya SMA dulu.
Bukan melulu karena
mendapat prestise tinggi, namun sekedar ingin napak tilas jejak Emaknya.
Padahal waktu itu saya 'hanya' berharap Angie bisa masuk sekolah negeri, demi
biaya spp yang murah dengan kualitas yang tidak buruk-buruk amat.
=====================
Berbincang tentang
'blank spot' sehingga anak-anak yang tinggal di daerah seperti itu kesulitan
mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah negeri, berarti ini adalah masukan
untuk pemerintah agar lebih memeratakan keberadaan sekolah negeri hingga di pelosok-pelosok
kotamadya / kabupaten. Setelah itu terus meningkatkan kemampuan guru di seluruh
sekolah -- khususnya sekolah-sekolah negeri -- dan fasilitas-fasilitas sekolah
agar di kemudian hari benar-benar tak lagi ada istilah sekolah favorite.
LG 12.50 20/06/2019
No comments:
Post a Comment