Sekian
tahun lalu, saat aku ‘hijrah’ dari seorang Muslim (sok) relijius menjadi
seorang Muslim sekuler, kemudian ‘hijrah’ lagi menjadi seorang Agnostik, aku
merasa aku telah mampu melepaskan diri dari kubangan xenophobia. Aku tak lagi menganggap
orang-orang yang beragama selain Islam adalah calon penghuni neraka, bahwa
orang-orang Muslim jelas akan masuk surga, betapa pun mungkin mereka melakukan
kejahatan di dunia ini, asalkan mereka tidak menyekutukan Tuhan. Menyekutukan
Allah – baik dengan cara murtad maupun percaya bahwa ada ‘kekuatan’ lain yang
menyerupai tuhan – adalah satu dosa yang tak terampuni bagi orang-orang Islam;
neraka ganjarannya.
Aku
mengagumi diriku sendiri sebagai seseorang yang open-minded dan tidak
judgmental.
Benarkah
begitu?
Akhir-akhir
ini aku baru menyadari bahwa aku ternyata ‘hanya’ berpindah wadah. L Kepada orang-orang yang non Muslim, aku
memang tidak judgmental, namun justru kepada Muslim yang dari penampilannya
nampak sangat Islami (misal mengenakan baju syar’i, yang rajin menghadiri
majlis taklim) aku tidak bisa jauh dari berpikir bahwa mereka tentu bersuudhon
pada orang-orang non Muslim, termasuk suudhon padaku yang berpindah ke ranah
Agnostik. L
Sekian
tahun lalu, di satu lapak media social (yang sudah almarhum sejak tahun 2012),
seorang kawan mengadakan lomba menulis dengan tema xenophobia. Dari sekian
puluh tulisan yang masuk, aku baru memahami mengapa orang-orang yang dari
penampilannya nampak Islami, yang kutuduh pasti mengidap xenophobia pada
orang-orang yang beragama berbeda, namun ternyata mereka berpikir lumayan
liberal adalah dikarenakan sejak kecil mereka hidup di keluarga besar yang
sangat heterogen. Sejak kecil mungkin mereka mengenal pakde, bude, atau kakek
nenek atau bahkan ayah maupun ibu yang beragama berbeda dengan mereka. Sejak
kecil mereka belajar toleransi – dalam makna sesungguhnya, dan tidak hanya di
bibir saja – sehingga mereka bisa berkumpul bersama di perayaan-perayaan agama,
misal Lebaran atau Natal.
Merunut
ke masa kecilku, keluargaku – sekarang satu-satunya keluarga berfam Podungge di
Semarang – merupakan keluarga homogen. Keluarga besar Podungge di Gorontalo pun
sama. Inilah hasil tumbuh besar dalam keluarga yang homogen. Tentu aku mengenal
istilah toleransi, namun itu hanya berhenti di kepala, tidak sampai ke
pergaulan yang sesungguhnya. (Satu kali di facebook, aku berkawan dengan
seseorang yang tinggal di Gorontalo, dia mengaku terheran-heran bagaimana
mungkin aku, seorang Podungge, menjelma menjadi seorang Agnostik.) Bisa dipahami
jika duluuu, aku sangat xenophobic pada mereka yang beragama lain karena aku
tidak punya pengalaman bergaul akrab dengan anggota keluarga yang beribadah ke
gereja, misalnya, atau kawan akrab yang beribadahnya ke vihara, misalnya. (Untunglah
dulu aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri, babak baru dalam hidupku untuk
memiliki kawan sekolah yang bragama berbeda. Untunglah di decade itu, jualan
agama belum ngetrend di tengah masyarakat kita. Lol.
Membaca tulisan-tulisan di lapak yang telah
almarhum itu, yang bertemakan xenophobia, membuatku belajar banyak bahwa tidak
semua yang berpenampilan Islami alergi pada mereka yang beragama lain. Ini
karena keluarga mereka sendiri heterogen. Akan tetapi, di zaman milenial ini,
ketika masyarakat kian dicecar dengan hal-hal “sok relijius” yang tak masuk
akal, (misal syarat menjadi seorang pejabat di satu daerah harus hafal Alquran,
siswa perempuan di sekolah negeri harus berjilbab, di pagi hari para siswa
membaca doa ala orang Muslim keras-keras, satu hal yang dulu tidak kualami di
sekolah negeri) aku pun kembali gamang. Bukankah tidak salah jika aku menjadi
xenophobic pada mereka yang dengan sengaja mengeksklusifkan diri? Yang
menunjukkan kesan bahwa hanya mereka lah ahlul jannah?
Seorang
sobat pernah bercerita dengan bangga bahwa dia tidak mengenal xenophobia karena
dia terlahir dalam keluarga besar yang heterogen. Kebetulan memang satu
keluarga sepupunya yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya beribadah ke
gereja. Namun, tahun lalu ketika aku berkesempatan ikut piknik bersama keluarga besarnya, aku melihat banyak anggota
keluarganya yang nampak berbusana syar’i, jilbab tidak cukup jilbab yang bisa
menutupi rambut, namun jilbab yang sangat lebar. Aku sempat heran waktu itu;
nampaknya sepupunya yang beribadah ke gereja termasuk kelompok minoritas.
Beberapa saat lalu, dia mulai mengeluh, grup WA keluarga besarnya mulai
terkesan menindas kelompok yang minoritas ini. Ketika dia mencoba menegur
sepupu atau bulik atau paklik agar menghormati perbedaan spiritulitas yang ada,
jawaban mereka adalah, “Kita wajib mensyiarkan agama Islam, agar sepupu-sepupu
yang masih tersesat itu mendapatkan hidayah.”
Nah
lo! Kemana toleransi itu pergi? “Perkembangan” (atau justru “kemunduran” ya?)
membawa-bawa relijiusitas atau spiritualitas dalam kehidupan pergaulan kita
sehari-hari sekian tahun terakhir kian mengesankan bahwa kata ‘toleransi’ hanya
tinggal ada di kamus bahasa belaka. L Kian banyak orang yang berjualan agama demi memperkaya diri.
Dan
.. aku tetap berkutat dengan mencoba untuk melepaskan diri dari xenophobia. L
IB180
14.44 17072018
No comments:
Post a Comment