YANG KITA LAWAN DARI JOKOWI ITU KE-OTENTISITAS-ANNYA
Disclaimer:
tulisan ini saya salin dari wall Andi Setiono
Bagi orang
Jawa, entah etnis yang lain. Salah satu pepatah yang paling penting untuk
dijunjung tinggi berbunyi: "tega larane, ora tega patine". Artinya
kita boleh saja, mengkritik, menyalahpahami, atau gagal mengerti tentang
perilaku seorang yang kita sayangi. Atau dalam konteks bermasyarakat pemimpin
kita. Tapi tidak sampai ke titik ingin mempermalukan, menjatuhkan atau bahkan
membunuhnya.
Itu etik
dasar, minimal yang saya pegang dan coba saya tularkan di lingkaran hidup saya.
Apalagi ia adalah orang yang pernah kita dukung, kita belai, dan sempat
demikian kita sayangi. Meludahinya semestinya sama dengan meludahi muka kita
sendiri. Hingga pernah muncul sepotong kalimat indah: Jokowi adalah Kita.
Bagi saya
prinsip "mikul dhuwur, mendem jero" sampai kapan pun akan tetap
berlaku. Memiliki rasa hormat dan tahu berterimakasih itu adalah yang terbaik.
Sebetapa pun itu jadi terlihat konyol dan bodoh! Bahwa di luar sana tidak
begitu, itu urusan masing-masing…
Situasi
terkini, hari2 ini sebagian sangat besar kita memandang Jokowi adalah
sejelek-jeleknya manusia yang pernah dilahirkan di Indonesia. Setiap hari saya
membaca orang yang kecewa padanya. Kecewa itu baik2 saja, tak ada yang salah.
Tapi mendramatisirnya sedemikian rupa, lalu menggiring opini publik seolah2
dirinya adalah pemilik kebenaran. Mereka yang merasa bahwa suara rakyat adalah
suara Tuhan.
Apa yang
disebut sebagai "Playing God", tentu sebagai antonim dari sebagian
pemimpin yang suka "Playing Victims". Dua gaya dramatik yang silih
berganti diperankan oleh kedua belah pihak.
Sedemikian
rupa, ia memainkan peran melalui jari-jemarinya di medsos, seolah ia adalah
pemilik otoritas kekuasaan sesungguhnya. Sekali lagi tidak salah, dan baik2
saja. Mereka menunjukkan sikap wong kelaran (orang tersakiti), yang ujung2nya
apa boleh buat kita harus menganggapnya sebagai wong lara (orang sakit).
Sehingga kita harus bersikap harus tega karo larane. Yo ben wae wae, pada lara
dewe-dewe. Rasakno…
Artinya apa?
Baik yang mengumpat, mencurigai, memfitnah maupun sebaliknya yang diumpat,
dicurigai, difitnah sejatinya sama saja. Pada-pada wong lara, sama2 sakit! Pun
barangkali saya, yang menuliskan artikel ini, saya pun merasa diri ikut-ikutan
sakit, sekalipun saya berusaha keras memahami kedua belah pihak. Tidak mudah,
tapi tetap akan saya lakukan untuk memberikan perimbangan.
Lalu, apakah
kita akan menuju "pati"-ne, kematian-nya? Sesuatu yang disinyalir
bahwa Pilpres kali ini akan berakhir kacau dan rusuh?
Kematian itu
bagi orang Jawa di masa lalu, bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi
menyakitkan. Apa pun caranya ia adalah jalan pembebasan. Tapi justru karena
soal itulah, kita lalu mengatakan "ora tega patine". Karena kita
terlalu menyayangi kehidupan. Pun demikian, kondis kraman, begal-pati, yang
mawut, yang dalam kosa kata global disebut chaos, anarkiis, dan rebel. Justru
adalah jalan terpendek menuju perubahan.
Dalam teks
dan konteks inilah, saya ingin sedikit menuliskan kenapa seorang Jokowi bisa
sedemikian mengharu biru kita. Justru ketika kita semakin mengkritik, membenci,
dan menyalahpahami-nya. Kita boleh saja berdebat sampai kerongkongan kering dan
hilang suara. Realitasnya, ia tak menunjukkan siatuasi panik atau gusar.
Kepanikan dan kegusaran dirinya tak lebih framing yang dipaksakan, dengan dalil
ini itu. Akrobat pembenaran dari perasaan kita yang galau, kacau dan campur
aduk.
Bagi saya
persoalan yang kita hadapi dalam teks dan konteks Jokowi adalah sisi
ke-otentik-annya. Apa itu otentik?
Secara
singkat ke-otentik-an bermakna keaslian yang dapat menarik minat orang lain.
Artinya ia memiliki sifat asli yang unik, yang kadang terbaca kadang tidak,
bisa kita duga tapi ternyata tidak. Ia berbeda dengan autentik yang melulu
merupakan kata sifat yang berarti dapat dipercaya, asli, tulen, dan sah.
Konteks dari otentik di sini adalah ia selalu melakukan kebaruan, ia selalu
melakukan sesuatu yang anomali. Sesuatu yang terkadang dianggap pada jangka
sangat pendek tidak lumrah.
Dalam
konteks ini, barangkali yang selalu dipersoalkan oleh dan bagi publik adalah
teks dan konteks: benar dan salah, baik dan buruk, pantas tak pantas, dst dst.
Sesuatu yang sebenarnya bersifat sangat relatif dan tidak langgeng.
Dari Jokowi,
kita melihat hal tersebut dengan sangat mencolok mata, bagaimana ia dianggap
tidak konsisten. Padahal ia justru konsisten pada ketidak konsistenan-nya itu.
Ia selalu berubah, justru karena ia selalu berada pada titik yang memungkinkan
atau malah mengharuskan ada perubahan. Ia menjadi pusat titik cair di pusat
kebekuan. Ia mendayung merengkuh masa depan, di tengah orang yang hanya peduli
pada diri sendiri di hari ini.
Akibatnya ia
tampak selalu salah. Satu saat ia disalahkan oleh musuh2 di garis awalnya, lalu
di tengah jalan dimusuhi oleh para pendukungnya. Di akhir barangkali, semua
adalah musuhnya. Dalam lingkaran setan kebencian dan aura salah paham ini lah,
ia berada.
Saat ia
direndahkan oleh Ketua Partai-nya sendiri, seolah hal ini adalah keniscayaan.
Karena di partainya ada hukum besi, pejah gesang nderek Bu Ketua. Padahal orang
juga abai pada realitas, si ibu makin menua, jadi pikun, dan mudah emosi.
Ketika ia mencoba membela diri, ia dianggap tidak tahu terima kasih. Ketika
keluarganya satu persatu mulai meninggalkan garis kebijakan partai, lalu ia
dianggap malin kundang dan pengkhianat.
Ketika para
pendukung dan relawannya mulai ngelunjak, dan merasa tanpa mereka bahwa ia
bukan siapa2. Lalu seolah menuntut sesuatu yang di luar kemampuan dirinya,
untuk harus selalu mendengar para relawannya. Kita lupa jika Jokowi bisa
bertahan sampai detik ini, tentu bukan perkara mudah. Ia harus mau jadi
"bapak asuh" bagi semua golongan atau partai. Ia bisa bersikap keras,
tapi pasti tidak sampai mematikan.
Ia bisa saja
mematikan HTI, FPI, atau organisasi sejenis, tapi hanya secara informal
administratif. Tapi manusia, semangat gerakannya, kiprah sosialnya bernilai
tetap. Dan dalam konteks ini pula, ia berusaha keras menjadikannya otentik,
dalam arti ia mewujudkan setiap cita2 dasar yang berpotensi mangkrak dan
tertunda seperti IKN misalnya. Maupun proyek2 baru infrastruktur yang dulu kita
mimpi di siang bolong pun tidak bakal terwujud.
Ia mendayung
di antara para hipokrit, penjilat, dan tamak. Hingga biaya jadi mahal atau
kemahalan, satu2nya yang menjadi pasti!
Dalam
pusaran inilah, ia berdiri dan bertahan. Selalu ada persoalan serius dalam ide
besar: lanjut atau mangkrak. Pihak oposisi, dalam format demokrasi apa pun,
selalu melihat apa pun yang diperbuat rivalnya adalah salah dan buruk. Itu
hukum besi ilmu politik. Karena apa? Ya sekedar meningkatkan nilai tawarnya
belaka. Tak lebih!
Ketika
partai pendukung utamanya, dianggapnya tak lagi jadi penyokong ide2 besarnya.
Apa yang dipahami secara konstitusional, sebagai perpajangan jabatan untuk
"Tiga Periode". Lalu ia mencoba mencari jalan keluar. Kok ndilalah,
justru pada titik dimana, apa yang selama ini dianggap musuh besarnya. Pada
mereka lah, harapan "koalisi baru" itu bisa terbentuk dan terbangun.
Itulah
kutukan demokrasi ala2 Amerika. Terbuka dalam sedemikian banyak hal, tapi
terbatas dalam jangka waktu. Berbeda dengan tuntutan demokrasi terpimpin yang
menuntut loyalitas tak terbatas. Demokrasi di zaman milenial selalu butuh
kesegaran. Hingga akhirnya resiko selalu dihitung belakangan, karena toh sama2
mengandung resiko. Apa sih yang tak mengandung resiko di abad sosial media ini.
Setiap
kepala adalah kebenaran dan selera, dimana masing2 ingin didengar suaranya.
Padahal masing2 kepala adalah keterbatasan dan ketidak utuhan informasi.
Di sini lah,
lagi-lagi Jokowi memunculkan ke-otentik-an dirinya. Ia menjadi beda, ia tak
bisa diatur, ia abai terhadap masa lalunya, ia memutuskan memilih jalannya
sendiri. Dalam konteks ini, ia berani mengambil resiko, dan pasti sudah siap
dengan resiko terburuk yang akan dihadapinya kelak. Ia menjadi seolah tidak
peduli pada publik, karena justru ia terbiasa pada reaksi para pembencinya.
Ia sudah
terlalu biasa, dengan suara minor terhadap dirinya. Sesuatu yang menjadikannya
menjadi sangat otentik. Yang barangkali, menjadikannya presiden paling berbeda
dibanding keenam presiden yang sebelumnya. Terlepas dari persoalan: selera suka
tidak suka, atau ukuran praktis benar salah, atau bahkan parameter moral benar
salah sekalipun. Ia tetap menempuh jalan ninja-nya sendiri. Yang melulu
persoalan pilihan!
Ia
barangkali justru sangat mendengar lingkaran terdekatnya, yang paling ia
percaya. Bahwa kelompok intelektual (asli maupun palsu) yang ceriwis dan setiap
hari menghujat tak lebih 10 % itu. Terus menerus berdengung, ngacapruk, dan
malah bersiasat jahat. Membuat badai dalam stoples, yang sesungguhnya tak lebih
obrolan angkringan. Yang akan berakhir, ketika pedagangnya bosan, puyeng dan
melengos tutup warung.
Karena ia
tahu, semua gerakan itu butuh bohir, penyandang dana. Yang sialnya itu semua,
petanya telah teridentifikasi. Itulah gambaran kita sebagai kaum pencacau,
pengigau yang merasa setiap patah kata kita adalah azimat penyelamat hidup
manusia.
Sementara
hidup kita sendiri, tak akan lebih baik. Karena sering kita melupakan prinsip
dasar: kebaikan sejati hanya bisa ditempuh melalui jalan kebaikan.
Kabecikan
tinemu kanti laku lan lelaku!
.
.
.
NB: Karya
lukis terbaik yang pernah dibuat untuk menggambarkan betapa sangat mudahnya
moral dijadikan patokan umum untuk menghukum seseorang, tanpa proses
pemeriksaan yang seksama. Adalah sebuah lukisan dari era klasik Yunani, yang
sangat banyak memiliki versi, sehingga judul-nya pun bisa apa saja. Inilah
salah satu lukisan yang paling sering ditafsirkan ulang dengan berbagai
background yang berbeda.
Lukisan di
bawah ini, menceritakan hubungan yang barangkali sampai kapan pun, ketika
patokan kita adalah "moral semu" atau moral menurut ukuran umum.
Orang Jogja menyebutnya sebagai "umume". Lukisan yang kita anggap
sebagai romantis, cenderung erotis dan seronok, yang sejak zaman dahulu kala
disebut buruk dan sesat.
Menceritakan
seorang laki2 yang dipenjara, bernama Cimon yang menyusu pada seorang perempuan
bernama Piro. Belakangan diketahui keduanya adalah seorang ayah dan anak
perempuan satu2nya. Si ayah dipenjara karena dituduh mencuri sepotong roti. Ia
sedemikian miskin dan tak mampu membela diri, lalu dihukum dengan cara
dibiarkan mati kelaparan. Tak boleh satu orang pun memberi makan minum padanya,
hingga ia mati.
Si anak yang
tak tega, kemudian meminta izin untuk mengunjungi ayahnya setiap hari.
Kecurigaan muncul dari para petugas penjara, mengapa si ayah tak kunjung mati
dan malah tetap segar bugar. Kemudian diketahui, si anak berbagi air susunya
yang menjadi jatah anak bayinya yang baru lahir dengan ayahnya. Hingga ia tetap
bisa bertahan hidup. Tak jelas bagaimana akhir cerita ini? Dan barangkali tak
penting apakah kedua orang ini dihukum atau dibebaskan.
Yang pasti
cerita ini menginspirasi banyak agama besar yang kemudian lahir, mengenai
begitu rapuh dan relatifnya ukuran moralitas itu. Bagi kaum "moralis
umume", Cimon dan Pero, keduanya pantas dihukum bakar hidup2 untuk menebus
kesalahannya. Namun konon Tuhan berpendapat lain, keduanya dianggap simbol
cinta kasih dan etika dasar kemanusiaan. Konon keduanya diperkenankan menjadi
orang yang pertama membuka pintu Surga.
Apakah
Jokowi adalah seorang Cimon, sedangkan Gibran adalah Pero? Tentu saja tidak.
Bagian yang
jelas terjadi di hari ini, sebagian (ya catat sebagian besar) publik, telah
menghukum sedemikian rupa Jokowi dengan berbagai stigma dan tuduhan sedemikian
buruk. Tanpa pernah mau bersabar menunggu cerita lanjutan, atau barangkali inti
dasar masalah yang melatarbelakanginya.
Bagi saya,
yang paling mengherankan justru mereka yang paling "bernafsu
membunuh" Jokowi dan anaknya adalah mereka2 yang selama ini setidaknya
ikut menikmati segala "berkah" kepemimpinan Jokowi.
Mereka2 yang
selama ini merasa mengenal sedemikian rupa Jokowi. Sehingga sebagaimana teks di
atas mendaku "Jokowi adalah Kita". Padahal dengan ke-otentik-annya
Jokowi adalah pribadi yang juga sangat merdeka, fokus pada rencana2 pribadinya.
Apa yang sebagian orang sebut sebagai "koppig", keras kepala dan
teguh pada pilihannya. Lalu ketika kita kecewa lalu menghujatnya sedemikian
rupa. Seolah Jokowi satu2nya Dewa adalh formulasi pikiran, perpanjangan tangan,
dan gerakan kaki milik kita.
Jokowi bisa
saja jatuh di tengah jalan, ia bisa terserimpung oleh ulahnya. Tapi saya akan
tetap menyisakan pikiran dan prasangka baik, sebagaimana cerita Cimon dan Piro.
Tak banyak yang saya tahu, ada apa di balik semua cerita ini. Dan bagaimana
akhir perjalanannya. Di masa sekarang ini, kecenderungan kita salah duga itu
selalu lebih besar dari saat kita berbaik sangka.
Selalu,
selalu, dan selalu.
Sebagai
orang yang tak pernah mengambil untung apa pun, dengan dukungan saya
terhadapnya selama 10 tahun terakhir. Saya memilih bersabar menunggu dan
melihat apa yang kelak terjadi.