|
Lorelai and Rory
|
Saya mulai
menyadari bahwa saya telah begitu lama 'deserted' Angie's feeling sekitar
pertengahan tahun 2022. Waktu itu kami berdua sedang 'eating out' dan saya
bercerita tentang masalah yang sedang dihadapi oleh seorang kawan medsos. Si
anak yang bersekolah di satu sekolah negeri (masih duduk di bangku SMP) awalnya
keukeuh untuk tidak menerima peraturan sekolah bahwa siswa perempuan
'disarankan dengan sangat' (alias diharuskan ya?) yang beragama Islam untuk
mengenakan penutup kepala alias jilbab. Sang ibu pun mendukung dengan kuat
keinginan sang anak -- dan didukung oleh kawan-kawan medsos sealumni -- dengan
membuat semacam 'keriuhan' di medsos hingga sekolah ditegur oleh pemerintah.
Beberapa
bulan kemudian tiba-tiba si anak bilang ingin mengenakan jilbab. Tentu saja ini
dianggap aneh oleh sang ibu. Setelah diinterogasi ternyata dia merasa risih
ketika di sekolah kawan-kawannya yang laki-laki terlihat memandang dadanya;
terutama ketika mengenakan baju olahraga, pada saat pelajaran olahraga tentu
saja.
Sampai di
sini, tiba-tiba Angie mengatakan bahwa dulu dia sering diperlakukan sama oleh
kawan-kawan (laki-laki tentu saja) di sekolahnya, bahkan juga beberapa guru.
Padahal waktu Angie duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA, belum banyak anak-anak
sekolah yang mengenakan 'baju Muslim'. Dia sangat risih namun dia tidak tahu
dia harus bercerita kepada siapa.
Saya
terhenyak mendengarnya. Where was I? What kinda mother am I so that I did not
know my very own daughter underwent such a thing?
Angie sedang
duduk di bangku kelas 5 SD, saya nampaknya sedang sibuk mengejar ambisi pribadi
saya dengan kembali ke bangku kuliah. Saya tinggalkan dia di Semarang bersama
ayahnya, yang ternyata juga sering tidak ada ketika Angie sedang butuh
seseorang.
Sejak saat
itu, saya berpikir bahwa kami berdua butuh 'us time' lebih sering dan tidak
hanya menggunakan waktu itu untuk saling bercerita tentang apa-apa yang terjadi
padanya di kantor, apa yang terjadi pada kawan-kawan dekatnya, juga apa yang
terjadi pada saya, baik di kantor, maupun di dunia maya saya. (Angie tahu saya
bisa fesbukan berjam-jam setiap hari, dan punya banyak kisah menarik yang bisa
saya share dengan Angie.) kami butuh 'us time' di mana kami bercerita lebih ke
dalam diri kami masing-masing.
Sabtu malam
25 Maret kemarin tiba-tiba kami, out of the blue, mendapatkan kesempatan itu,
saat kami ngobrol di kamar Angie. (She was not feeling well due to her gastric
acid.) dalam percakapan itu (atau bisa saya sebut sebagai 'sesi curhat') Angie
semula bercerita tentang sesuatu yang mengingatkan saya masa-masa menyedihkan
saya di pernikahan pertama saya dengan ayahnya; sebegitu emosionalnya saya
(mungkin saya sedang PMS ya) hingga saya lepas kendali dan bilang, "how
could you remind me of that sad moment? How could you make me cry?" yang
langsung disambar oleh Angie, "Don't you realize what you used to do made me feel so alone? I had no
one to confide in! even only to talk to!" dilanjutkan dengan,
"and you didn't ask my
opinion before you divorced dad!"
There!
Ternyata apa
yang selama ini saya pendam sendiri -- kekhawatiran bahwa Angie merasa kurang
saya perhatikan -- benar adanya. Emosi saya langsung luruh, saya meminta maaf
berulang kali pada Angie karena apa yang dulu saya lakukan, mau tidak mau dia pun menjadi korban.
Karena saya
yakin Angie sudah dewasa dan bisa saya ajak bicara, saya bercerita bagaimana
hubungan saya dengan ayahnya dulu itu, sebelum perceraian yang pertama.
Kesalahan tentu tidak melulu di pihak ayahnya, saya dengan ego saya yang tidak
lebih rendah ketimbang ego seorang laki-laki, bahkan juga bagaimana keluarga
saya -- ibu dan dua adik perempuan -- memperlakukan ayahnya tentu
'menyumbang'pertengkaran-pertengkaran antara saya dengan ayahnya.
Ketika saya
memutuskan untuk menikahi ayahnya kembali sebelum saya berangkat ke Jogja untuk
melanjutkan kuliah, saya sebenarnya berpikir yang terbaik untuk Angie --
menurut cara berpikir saya. Pertama, saya melihat Angie kecil merasa tidak
nyaman karena seolah hidupnya 'fatherless'. (dan dia membenarkan alasan saya
ini, meski kami belum pernah berbicara tentang hal ini sebelumnya.) Kedua,
mungkin dia akan merasa lebih nyaman hidup bersama ayahnya ketimbang bersama
neneknya dan dua tantenya. (Well, meski ternyata kenyataannya, saat saya berada
di Jogja, Angie sering merasa ditinggal tanpa ada yang memahaminya, ayahnya
sibuk memikirkan perasaannya sendiri.)
(saya ingat
saat itu pernah ada seorang teman sekolah dolan ke rumah, dan bertanya,
"Ngie, ibumu di mana? Kok ga kelihatan?" Angie menjawab, "Di
Jogja. Kuliah lagi." temannya berkomentar, "Hah? Kalau aku jadi kamu,
pasti aku sudah menangis." Angie menjawab bahwa dia baik-baik saja.
Mungkin saat itu dia belum memahami diri sendiri bahwa memang dia merasa
baik-baik saja, namun kenyataannya di kemudian hari dia merasa begitu tidak
dipedulikan. 😞 )
Masih banyak
yang kami bicarakan, hingga akhirnya menurut saya akhirnya Angie 'menerima'
keputusan saya mengapa saya menceraikan ayahnya, meski sudah lama dia menerima
kenyataan bahwa saya dan ayahnya tak lagi bersatu, namun dari percakapan kami
berdua malam Minggu kemarin, dia tahu bahwa memang keputusan saya untuk
bercerai itu untuk kebaikan kami berdua, saya dan Angie.
Tentu saja
saya masih jauh dari seorang Lorelai Gilmore. Waktu pertama kali Rory mengenal
ayahnya, Christopher Hayden, (Rory was 16 years old, the same age when Lorelai
got pregnant), dia juga memprotes Lorelai mengapa ibunya memutuskan untuk tidak
mau menikahi ayahnya dan memilih menjadi single parent saat membesarkan Rory.
Butuh waktu lama juga bagi Lorelai untuk meyakinkan Rory bahwa dengan menjadi
single parent -- namun tidak merasa tertekan dalam perkawinan yang dilakukan
karena merasa 'terpaksa' -- Lorelai akan bisa mencurahkan perhatiannya penuh
terhadap Rory.
But I will
try my best to open up my conversation with Angie more often. Better late than
never, do you agree?
PT56 06.06
28.03.2023
This writing is the continuation of my writing in this link.
You may check this writing of mine too 😊