aku dan nte Ria di Bori Kalimbuang |
di Lolai, Hesti, Da, nte Ria, aku, Avitt |
Kamis 13 September 2018
Kita berencana
meninggalkan penginapan pukul empat pagi menuju LOLAI, satu daerah yang terletak di ketinggian 1300 mdpl sehingga
juga disebut sebagai “Negeri di atas Awan”. Karena akan berangkat pukul empat
pagi, tentu saja kita harus mulai melakukan ritual pagi (di kamar mandi lol)
sebelumnya.
Well, kenyataannya
kita meninggalkan penginapan MARIA menjelang pukul 04.30, ga usahlah ditulis
who was the culprit that made our departure late. LOL. Konon, yang menarik di
Lolai bukanlah pemandangan matahari terbit seperti di Punthuk Setumbu –
Magelang atau Gunung Bromo – Probolinggo, melainkan sekumpulan awan yang elok,
yang bisa kita lihat berada DI BAWAH tempat kita berdiri. Tidak heran lah jika
LOLAI ini disebut sebagai NEGERI DI ATAS AWAN.
Meski kita baru
berangkat pukul 04.30, Lolai terletak tak begitu jauh dari penginapan kita.
(Ingat, kita ke Lolai naik mobil, bukan bersepeda. Lol.) Kita pun sampai di
Lolai sebelum pukul lima pagi. Suasana masih gelap gulita, dan suhu udara masih
cukup dingin, meski tidak sampai membuat gigi-gigi gemeletuk. LOL. Dua sopir
kita – om Ali dan om Anto – sangat piawai menyetir mobil meski trek tinggi
curam. Berbeda dengan area Gunung Bromo dimana kita harus menyeberangi lautan
pasir, di Lolai tak ada lautan pasir.
Di Lolai kita
bertemu dengan kawan sesama pehobi sepeda lipat dari Tasikmalaya, om Ayung Lim
dkk. Benar-benar banyak peserta jamselinas 8 yang memanfaatkan kedatangan
mereka di Makassar untuk sekaligus berkunjung ke Tana Toraja. J
Pagi itu kita
kurang beruntung. Saat sang mentari terbit, sekumpulan awan menutupinya. J Namun seperti yang saya tulis di atas,
Lolai adalah tempat yang paling pas untuk melihat awan yang berarak di bawah
tempat kita berdiri. Semakin siang, awan yang berarak terlihat semakin banyak,
pun semakin indah.
Tidak banyak yang
kita lakukan disini kecuali berfoto-foto, baik dengan latar belakang awan yang
berarak, maupun dengan deretan tongkonan yang Nampak cantik dan semarak.
Deretan tongkonan yang terletak tak jauh dari lokasi berfoto ini merupakan
‘guest house’ yang bisa disewa para turis yang ingin menikmati sensasi menginap
di dalam rumah adat Toraja sekaligus sensasi kedinginan yang pastinya bakal
bikin kita meringkuk lebih dalam semalaman. Lol. Oh ya, selain menyewa
tongkonan untuk bermalam, para turis juga diperbolehkan membangun tenda di tempat
yang disediakan. Selain itu tentu ada juga kafe tempat ngopi dan menikmati
kudapan yang disediakan.
Sebelum pukul
08.00 kita sudah sampai di penginapan MARIA. Kita langsung menuju tempat dimana
kita bisa sarapan. Sarapan kita berupa setangkup roti tawar yang diberi
margarine dengan satu butir telur rebut. Untuk minum kita bisa memilih teh
panas maupun kopi hitam panas.
Usai sarapan,
saatnya kita mandi dan berkemas-kemas. Kita harus meninggalkan Rantepao dan
kembali ke Makassar.
Sekitar pukul
10.30 WITA kita meninggalkan penginapan Maria, menuju satu lokasi yang disebut
sebagai KALIMBUANG BORI. What is it?
Well, I myself had no idea. LOL. (Jadi ingat waktu ke Probolinggo bulan
Desember 2017. Ranz yang bikin plan, bikin itinerary, dan saya ngikut saja. Kenyataannya
saya tetap menikmati dolan ke Gili Ketapang dan BJBR (Bee Jay Bakau Resort).
Dalam perjalanan
menuju destinasi wisata yang kadang juga ditulis sebagai BORI KALIMBUANG, saya membayangkan akan mengunjungi satu tempat
dimana kita akan menemukan deretan tongkonan. Kebetulan dalam perjalanan menuju
Bori Kalimbuang kita beberapa kali melewati kawasan yang ada deretan
tongkonannya. Namun, menurut google maps (hahaha … baik om Ali maupun om Anto
belum pernah berkunjung ke Bori Kalimbuang, jadi kita menggunakan google maps),
kita masih diminta untuk terus dan terus. Mana kita sempat ‘tersesat’ pula
dalam perjalanan. Lol.
Hingga akhirnya …
kita pun sampai ke lokasi. Bori Kalimbuang terletak di Jalan Poros Barana,
kelurahan Bori, kecamatan Sesean, kabupaten Toraja Utara. Letaknya hanya
sekitar 5 kilometer dari pusat kota Rantepao. (Namun toh kita sempat tersesat
juga. Lol.)
Begitu masuk ke
area Kalimbuang, alamaaaak … I LOVE THIS PLACE! Berasa
ada di satu kawasan yang mirip STONEHENGE. (judulnya ngarep.com lol.) ratusan
batu menhir dengan ukuran beragam tersusun seakan muncul dari bawah tanah dan
menjulang tinggi. Ada yang tinggi sekali (jika kita berdiri di sampingnya kita
bakal merasa bak liliput) ada juga yang berukuran kecil. Di antar ratusan batu
menhir itu, konon yang tertua ditanam pada tahun 1657, warna batunya yang
paling gelap. Konon saat itu 100 ekor kerbau disembelih untuk upacara kematiaan
Ne’ Ramba. Upacara kematian yang kedua di lokasi ini dilakukan pada tahun 1807
dimana sekitar 200 kerbau disembelih dan 5 buah batu menhir ditanam untuk
pemakaman Ne’ Padda’.
Batu-batu
tersebut mewakili tokoh-tokoh bangsawan atau sesepuh adat yang telah meninggal.
Upacara adat yang disebut “Rapasan Sapurandan” dilaksanakan sebagai bagian dari
proses penanaman batu. Untuk ‘menanam’ batu disini keluarga harus menyembelih
minimal 24 ekor kerbau. Untuk ukuran batu, terserah pihak keluarga yang
menginginkan jasad satu anggota keluarganya untuk ditanam disini. Namun tentu
saja jika memilih batu yang besar, biayanya akan semakin banyak, karena mencari
batu yang pas itu tidak mudah, apalagi membawanya menuju Bori Kalimbuang. Butuh
bantuan banyak orang sekitar yang berarti butuh banyak biaya.
Selain deretan
batu menhir, di lokasi ini kita juga bisa mendapati “Balakkayan”, satu bangunan
seperti rumah panggung yang difungsikan untuk tempat membagikan daging
sembelihan kerbau maupun bagi dalam ritual yang dikenal dengan sebutan
“mantunu”. Selain “balakkayan” disini juga ada “Lakkian” tempat disemayamkannya
jenazah selama berlangsungnya upacara kematian. “Lakkian” terbuat dari kayu,
bagian atapnya seperti atap tongkonan, seperti perahu. Perbedaan lakkian dari
tongkonan adalah ukuran lakkian lebih kecil, serta tidak berdinding, meski juga
terdiri dari 2 tingkat. Tingkat atas digunakan untuk meletakkan jenazah,
sedangkan tingkat di bawah digunakan untuk tempat duduk anggota keluarga selama
upacara pemakaman.
Di daerah yang
agak jauh dari tempat ‘menanam batu menhir’ ini, kita bisa mendapati ‘baby
graves’ alias tempat memakamkan bayi, setelah melewati tangga batu sekian ratus
meter. Bayi-bayi yang belum tumbuh gigi namun sudah meninggal bisa dimakamkan
disini, yakni di dalam batang pohon ‘tarra’ yang sudah dilubangi. Setelah jasad
bayi dimasukkan ke dalam pohon, lubang pohon ditutup menggunakan ijuk serta
pasak-pasak kayu. Konon, lama kelamaan lubang pohon tersebut akan tertutup
dengan sendirinya.
Tidak jauh dari
lokasi ‘baby graves’ ada tongkonan yang dihiasi dengan 200 tanduk kerbau. Coba
bayangkan betapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk dekorasi ini.
Oh ya, di lokasi
ini kita bertemu dengan rombongan ‘bikeberry’
komunitas sepeda lipat dari Surabaya. Mereka baru sampai di Tana Toraja! Jika
dari Bori Kalimbuang kita berencana balik ke Makassar, mereka baru akan ke
Londa dan keesokan hari ke Lolai. J
Setelah kita
merasa cukup (bagi saya pribadi belum, lol) kita kembali ke arah pusat kota
Rantepao. Kita makan siang di satu rumah makan Surabaya. Ternyata letaknya
tidak jauh dari penginapan Maria tempat kita menginap semalam. (yaaah …
Rantepao mah Cuma ‘segitu’ luasnya. Hihihi …)
Usai makan siang,
om Ali dan om Anto mengarahkan mobil ke jalan poros Makale, untuk kembali
menempuh jarak ratusan kilometer yang akan kita tempuh selama 8
jam, menuju Makassar. Namun sebelumnya kita ingin mampir dulu ke Buntu Burake dimana para turis bisa
melihat patung Yesus dalam ukuran raksasa di atas bukit.
Sesampai di
patung Selamat Datang Toraja, ada sedikit salah komunikasi. Mobil om Anto tidak
mengarah ke Buntu Burake, namun langsung menuju luar kota. Setelah
berkoordinasi lewat hape, dua mobil kita beriringan menuju Buntu Burake.
Buntu Burake
terletak di atas bukit, trek menuju kesana cukup bikin hati keder, curam dan
berkelok-kelok. Duh, kalo bersepeda kesini ogah lah. Lol. Kalau di Semarang ini
sedikit mirip tanjakan awal naik jalan Papandayan, tapi trek seperti itu terus
menerus tanpa henti. Lol. Ngilu nih dengkul mbayangin nanjak Buntu Burake naik
sepeda. Hahahahah …
Sesampe Buntu
Burake, kembali kita bertemu rombongan pehobi sepeda lipat dari Jakarta.
Wuiiiih … banyak banget yaaa. Thanks to Jamselinas 8, Tana Toraja jadi
dikunjungi tambah banyak turis domestik. Kita pun heboh foto-foto bareng. LOL.
Ternyata Buntu
Burake masih dalam kondisi sedang dibangun. Masih banyak yang harus dibenahi
disana sini, termasuk areal parkir. Masih di daerah yang sama, namun arah yang
berbeda juga ada ‘Goa Maria’ namun trek menuju kesana belum beraspal, masih
jalan batu-batu. Dan … karena kita sudah cukup kelelahan, mana masih harus
menempuh perjalanan 8 jam lagi, (padahal kita Cuma tinggal tidur dalam mobil,
om Ali dan om Anto yang
‘berjuang’ nyetir. Lol) kita ga lama berkunjung kesana. Setelah foto-foto, kita
langsung kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan.
Ada sedikit
masalah dalam perjalanan balik ke Makassar. Om Ali yang tidak bisa menyetir
mobil dalam kecepatan sedang (harus ngebut dia lol), dengan cepat meninggalkan
mobil yang disetir om Anto. Sampai di satu lokasi, (mungkin kita baru menempuh
jarak kurang lebih 60 kilometer), om Anto menelpon mengabari jika salah satu
ban mobilnya meletus. Waktu ditanya dimana lokasinya, om Ali bilang jarak kita
terpaut 20 kilometer! Hwaaaa … lol. Om Anto meminta kita balik ke arah mereka.
Tapi gelinya, setelah kita sampai kesana, mobil yang disetiri om Anto sudah
siap melanjutkan perjalanan. Lol. Om Ali bersungut-sungut lah. LOL. Sebelum
melanjutkan perjalanan, om Ali meminta om Anto berada di depannya. Ini berarti
om Ali harus mencoba nyetir mobil dengan kecepatan sedang. Lol.
Mobil yang saya
naiki – disetiri om Ali – kembali berhenti ketika kita tak lagi melihat mobil
yang satunya. Setelah menelpon, kita baru menyadari bahwa kembali mobil yang
disetiri om Anto tertinggal jauh di belakang. Hahahahahah …
Di Pare-Pare kita
berpisah dengan om Ali yang ternyata tidak bisa mengantar kita sampai Makassar.
Om Ali diganti seorang kawannya, tapi saya lupa namanya. J
Akhirnya kita
sampai di hotel tempat kita menginap di Makassar menjelang pukul dua dini hari,
Jumat 14 September 2018. Alhamdulillaaah …
To be continued ...