DOLAN SULAWESI
Barangkali magnet
Sulawesi jauh lebih kuat ketimbang Bangka bagi kawan-kawan dan juga saya. Ini mengingat
ketika kita memutuskan bergandeng tangan saling mendukung untuk menghadiri jamboree
sepeda lipat nasional a.k.a jamselinas kedelapan yang diselenggarakan di
Makassar pada pertengahan bulan September 2018. Satu hal yang tidak kita
lakukan ketika kita tahu bahwa jamselinas keenam diselenggarakan di Bangka. J
Namun barangkali
karena keterikatan kita satu sama lain saat itu (September 2017) terasa sangat
kuat setelah kita sama-sama bekerja bersama mewujudkan kesuksesan
penyelenggaraan jamselinas ketujuh. Sedangkan di tahun 2015 ketika kita tahu
bahwa jamselinas keenam akan diadakan di Bangka kita tidak merasakan hal yang
sama. J
Well, apa pun
trigger-nya, saya dan kawan-kawan telah sukses mewujudkan impian kita bersama
untuk dolan ke Sulawesi bareng-bareng, baik untuk menghadiri jamselinas
kedelapan maupun untuk jalan-jalan ke Tana Toraja.
TANA TORAJA
Alhamdulillah bahwa
saya dan beberapa kawan diberkahi kemudahan untuk meninggalkan tempat kerja
selama beberapa hari untuk berpetualang ke Tana Toraja. Meski ternyata Tana
Toraja terletak lumayan jauh dari Makassar, kota dimana jamselinas kedelapan
diselenggarakan. Kenyataan ini tidak menciutkan nyali kita. Mengapa Tana
Toraja? Saya pikir pasti banyak orang yang mengerti mengapa Tana Toraja begitu
eksotis meskipun cukup mistis. J Tana Toraja memiliki kekhasan destinasi wisata
yang tidak dimiliki daerah-daerah lain: goa Londa yang dimanfaatkan sebagai
kuburan.
Selasa 11 September 2018
Pada hari Selasa
11 September 2018 8 orang pehobi sepeda lipat berangkat menuju Makassar, dibagi
menjadi dua kloter; 4 orang berangkat pukul empat sore WIB (Tayux, Da, Iffan
dan Desi); 4 orang lain berangkat pukul delapan malam WIB (Ranz, Hesti, Avitt
dan saya). Sesampai bandara Sultan Hasanuddin, tentu saja Tayux dan Da memiliki
tujuan yang sama dengan rombongan saya, menunggu kehadiran kami. Sementara itu,
Iffan dan Desi yang ingin menikmati keelokan pantai Tanjung Bira telah
memisahkan diri dari Tayux dan Da.
dengan wajah lusuh, sesampai bandara Sultan Hasanuddin |
Malam itu kita
tidak hanya berenam, nte Ria yang berangkat dari Jakarta turut bergabung dengan
rombongan yang akan ke Tana Toraja. Kita bertujuh dijemput dua mobil, yang
pertama disetiri oleh Om Ali (dalam mobilnya ada saya, Ranz, dan nte Ria; mobil
yang kedua disetiri oleh Om Anto, Tayux, Da, Hesti dan Avitt ada di dalamnya.
Hampir pukul
23.30 WITengah kita meninggalkan bandara menuju arah Tana Toraja. Dalam
perjalanan saya terheran-heran melihat masih banyak toko yang buka. Di satu toko
yang berjualan oleh-oleh kita diajak mampir, bukan untuk belanja, (orang kita
juga baru sampai. Mosok sudah mau beli oleh-oleh. Lol.) namun untuk mencicipi
roti khas daerah situ dan teh hangat yang disediakan gratis untuk para
pelancong. Wow.
Setelah mampir di
toko itu, tak lama kemudian saya tertidur ketika mobil melanjutkan perjalanan. Mata
saya yang minus tentu tidak bisa melihat kondisi di luar yang gelap gulita,
lol, plus setiap dalam perjalanan saya selalu diserang rasa kantuk. Lol. Saya tahu
beberapa kali mobil berhenti entah mampir dimana, tapi saya tetap lanjut molor.
Lol. Nte Ria yang duduk di depan, disamping om Ali juga tidur nyenyak
(nampaknya nyenyak sih. Lol.) sedangkan Ranz yang duduk di samping saya sering
ikut turun dari mobil ketika mobil berhenti.
Rabu 12 September
2018
Hingga menjelang
pukul enam pagi WITengah hari Rabu mobil berhenti di satu toko oleh-oleh
sekaligus rumah makan. Ranz mengajak saya turun karena katanya pemandangan di
belakang rumah makan itu bagus sekali. Dengan langkah terseok-seok saya
mengikuti Ranz. Karena rumah makan itu tidak besar ukurannya, hanya dalam
beberapa langkah ternyata kita sudah sampai di ujung belakang dimana kita
langsung disuguhi pemandangan Gunung Nona yang spektakuler! Di bawah terletak
jurang yang cukup dalam dan hamparan pegunungan yang bentuknya mirip satu sama
lain Nampak cantik sekali. Kabut masih menyelimuti beberapa area, meski tidak
mengurangi kecantikannya. Hawanya? Sangat sejuk!
Kawasan ini
disebut Enrekang.
Disini saya
memesan teh panas untuk melegakan tenggorokan. (sebelum meninggalkan Semarang,
saya sudah terserang batuk-batuk yang cukup mengganggu kenyamanan. L) yang lain ada yang pesan kopi, selain mi
rebus instan.
Sekitar pukul tujuh
kita melanjutkan perjalanan. Saya pikir Tana Toraja sudah cukup dekat dari
kawasan itu. Namun ternyata kita baru sampai Rantepao – ibu kota Toraja Utara –
dua jam kemudian. LOL. Jauhnyoooooooo. LOL.
Yang pertama kita
lakukan adalah mencari penginapan yang cukup murah namun nyaman untuk kita
beristirahat. Di hotel MARIA 1 itu kita
menyewa empat kamar; saya, Ranz dan nte Ria satu kamar; Avitt dan Hesti satu kamar,
Tayux dan Da satu kamar, yang satu kamar lagi untuk Om Ali dan Om Anto. Setelah
mandi dan ganti baju, saya mengajak Ranz dan nte Ria jalan-jalan ke sekitar
situ. Saya butuh membeli celana panjang / kulot untuk ganti.
Berempat bersama
Da kita berjalan-jalan santai. Ternyata tak jauh dari situ ada pasar
tradisional. Kita tidak bemaksud membeli apa-apa di pasar tradisional ini,
hanya jalan-jalan saja. Namun ternyata tak jauh dari situ ada deretan toko-toko
yang berjualan oleh-oleh khas Tana Toraja, mulai dari gantungan kunci, tas,
selendang atau slayer, sampai kaos-kaos yang bertuliskan TORAJA maupun TANA
TORAJA. Dan, meski kita baru saja sampai di Rantepao ini, dan belum berkunjung
kemana-mana, kita berempat belanja kaos dll untuk orang rumah. LOL.
Sekitar pukul 12
WITA kita kembali ke penginapan. Setelah yang lain siap, kita keluar lagi untuk
makan siang di satu rumah makan yang terletak tak jauh dari situ.
LONDA
dengan latar belakang bukit Patabang Bunga |
Sekitar pukul
14.15 kita meninggalkan rumah makan menuju Goa LONDA. Kita beruntung diantar
oleh Om Ali dan Om Anto yang meski orang Pare-pare lumayan mengenal daerah
Rantepao ini sehingga tidak butuh waku lama, kita telah sampai Londa. Menjelang
sampai tempat pakir destinasi wisata satu ini kita melihat rombongan mengenakan
jersey GOSBASTER dengan sepeda lipat mereka. Wahhh … ternyata ada juga peserta
jamselinas 8 yang memiliki ide yang sama dengan kita, yakni dolan dulu ke Tana
Toraja. Bedanya adalah jika kita benar-benar piknik sehingga merasa tidak perlu
mengeluarkan sepeda lipat dari mobil (sebagian sepeda lipat masih dalam kondisi
terbungkus, sebagian yang lain dalam tas). 7 orang yang mengenakan jersey
GOSBASTER itu ke Londa dengan naik sepeda! Wow. J Kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar
sebelum kita membeli tiket dan masuk ke pelataran Londa.
Harga tiket Rp.
15.000,00 per orang. Ketika kita bertujuh berjalan menuju goa Londa, ada
seorang pemandu yang menawarkan diri menyewakan lampu petromaks. Kita setuju
untuk menyewa 1 lampu petromaks. Lampu ini sangat berguna untuk menerangi
ketika kita masuk ke dalam goa.
Goa Londa
terletak di kawasan bukit Patabang Bunga. Hawanya cukup sejuk meski matahari
bersinar terik. Mendekati pintu masuk goa, kita ‘disambut’ oleh sederet tau-tau atau patung yang dibuat persis orang yang sudah
meninggal dan peti matinya diletakkan di dalam goa. Agar seseorang yang sudah
meninggal bisa dibuatkan patung dan didandani persis seperti dirinya kala masih
hidup, keluarganya harus mengadakan upacara adat tertentu dengan menyembelih
kerbau dalam jumlah tertentu. Selain deretan tau-tau, kita juga bisa melihat peti
mati peti mati yang digantungkan di bukit, di atas pintu goa. Kata si bapak
pemandu, di atas goa yang akan kita masuki ada lokasi lain yang digunakan untuk
kuburan. Semakin tinggi strata social sebuah keluarga, semakin tinggi
lokasinya. Ini mengingat kadang keluarga ikut serta memasukkan barang-barang
berharga kesayangan anggota keluarga yang sudah meninggal di dalam peti hingga
jika lokasinya tinggi akan sulit dijangkau mereka yang berniat menjarah.
Setelah memasuki
goa, kita bisa mendapati banyak tengkorak dan juga peti mati peti mati lain
yang diletakkan di dalam goa. Sang pemandu memberi informasi bahwa lokasi di
dalam goa telah terbagi sedemikian rupa sehingga di satu lokasi yang sama, peti
mati peti mati dan tengkorak yang ada milik satu keluarga. Lokasi lain milik
keluarga yang lain. Dengan ini mudah bagi keluarga yang masih hidup ketika akan
melakukan ziarah karena kuburan para pendahulu mereka tidak
berserakan. Jika kita melihat ada rokok, kaleng (minuman) dll di dekat peti
mati atau tengkorak itu bukanlah orang yang membuang sampah sembarangan, namun
merupakan sesaji.
Kita meninggalkan
Londa sekitar pukul 15.40. dari Londa kita melanjutkan perjalanan menuju Ke’te
Kesu. Kita sampai di Ke’te Kesu sebelum pukul 16.00 karena memang jaraknya
tidak terlalu jauh dari Londa (dan kita naik mobil, bukan sepeda. Lol.) Harga
tiket masuk juga Rp. 15.000,00 per orang.
KE’TE KESU
Ke’te Kesu
dikenal sebagai objek wisata tempat wisatawan bisa melihat rumah adat Toraja
dari dekat. Salah satu dari deretan tongkonan (nama rumah adat Toraja) ada satu
yang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya kita bisa melihat foto-foto yang
berkaitan dengan adat Toraja. Namun kita tidak masuk ke dalamnya dengan dua alasan.
Pertama, kita harus membayar (lagi) sejumlah sepuluh ribu rupiah per orang. Kedua,
saat itu museum dalam kondisi terkunci, yang bertugas menjaganya sedang keluar.
Akhirnya kita hanya foto-foto disitu.
Setelah cukup
puas berfoto-foto, kita menuju satu tempat dimana ada petunjuk ‘KUBURAN BATU’. Karena
penasaran, aku kesana, diikuti oleh Ranz. Setelah berjalan menuruni tangga
sekitar 300 meter, kita menemukan bukit yang juga dimanfaatkan untuk kuburan. Jika
ingin ke kuburan batu itu, kita harus menapaki tangga ke atas. Karena yang lain
tidak ada yang mengikuti kita, dan tidak ada pemandu yang bisa menjelaskan ini
itu kepada kita, Ranz mengajak sayakembali ke deretan toko-toko yang menjual
berbagai cendera mata, di dekat deretan tongkonan tempat kita berfoto-foto
sebelumnya.
Setelah puas
berbelanja beberapa jenis merchandise, kita kembali ke penginapan. Dan ternyata,
sesampai penginapan, aku dan nte Ria sama-sama teller, jadi kita tidur. Lol. Sekitar
pukul Sembilan malam WITA kita bangun, nte Ria kelaparan, sehingga dia mengajak
saya menyusul yang lain. Yang lain sedang jalan-jalan mencari tempat ngopi. :D malam
itu kita makan nasi goreng di satu lapangan sejenis alun-alun, tak jauh dari
penginapan.
To be continued.
LG 15.15 28092918