Mumpung nama
Afi sedang fenomenal ... mumpung aku punya semangat menulis, mari menulis
sedikit tentang Afi (Asa Firda Inayah). J
Frankly
speaking, aku tidak tahu banyak tentang anak remaja (lulusan?) satu SMA di
Banyuwangi, satu kota kecil di ujung Timur Jawa Timur; satu kota yang pernah
kukunjungi (eh, mampir) waktu dalam perjalanan menuju Taman Nasional Baluran
dan menyeberang ke Pulau Bali. (ga penting ya? Cuma nunut tenar doang nih
akunya. LOL.)
Mungkin –
seperti kebanyakan orang – aku pertama kali “mengenalnya” dari tulisannya yang
berjudul WARISAN yang telah dibagikan ribuan kali di sosial media; cara pandang
yang sebenarnya “biasa” saja bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi
(menurutku), yang telah pernah merasakan menjadi pihak minoritas yang
terdiskriminasi (seharusnya seperti ini, pikirku), atau paling tidak yang
pergaulannya luas dimana dia bergaul dengan orang berbagai macam kalangan.
Bahwasanya Afi
– demikian nama ngetopnya, bukan nama sebenarnya – ‘baru berumur’ belasan
tahun, berasal dari satu kota kecil, yang berarti pergaulannya (selayaknya)
tidak seluas cara pandangnya, menjadikan cara pandang Afi ini tidak biasa. Dia
pun mengaku bahwa sekian waktu lalu – entah bulan, entah tahun – dia pun
bercara pandang sempit hingga tiba saat dia membaca satu buku yang merupakan ‘titik balik’; dan ... voila ... dia
pun (seolah mendadak) memiliki cara pandang yang universal. Jika mengacu ke
satu tulisan lamaku di blog, dia berhenti berpikir bahwa dia termasuk “the
chosen race”.
Dalam talkshow
yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, Afi menyebut buku yang berjudul “The Magic of Thinking Big” tulisan David
Schwartz yang membuatnya ‘berbalik’, tak lagi berpikir sempit, namun mulai
berpikir secara universal. Selain menyarankan para remaja seusianya untuk
membaca buku itu, Afi juga menyarankan untuk membaca buku yang berjudul “The 7 habits of highly effective people” karangan Stephen R. Covey.
In case you
wanna know (ehem ...) satu buku yang merupakan trigger awal perjalanan ‘titik
balik’ku adalah buku “Setara di hadapan Allah” tulisan Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, buku yang iseng-iseng
kubeli di satu lapak tidak permanen saat pulang dari kampus, tahun 2003.
Sekian tahun
kemudian setelah membaca buku itu – sembari membentuk diri untuk menjadi
seorang feminis dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan itu – aku
mulai melabeli diri sebagai seorang sekuler. Sekian tahun berikutnya, kupikir
sudah saatnya aku melepas label sekuler, berpindah ke ranah agnostik. Hingga
saat ini ... mungkin lebih tepat aku menyebut diri sebagai seorang pengembara,
tanpa label.
Akankah seorang
Afi pun menjadi seorang Muslim sekuler dalam kehidupan pribadinya? (bukan dalam
kehidupannya bermuamalah lho ya.) Ataukah ratusan buku yang dihadiahkan
kepadanya dari sebuah penerbit saat dia menjadi tamu di satu televisi swasta
akan membuatnya menjelma menjadi sosok lain lagi?
Mari kita
tunggu.
LG 15.10
31052017