LASEM : LUNAS!
Semenjak tahu bahwa di Lasem ada sebuah vihara dimana di
dalamnya ada patung Buddha berbaring dalam ukuran yang lumayan besar –
kira-kira ini tahun 2012 – aku sudah
bermimpi untuk mencari lokasi vihara itu. Ranz and I missed this place when we went there in August 2012.
Libur Imlek awal tahun 2014 kita berencana ke Lasem. Gagal
karena hujan yang tak kunjung berhenti selama beberapa minggu hingga kawasan
Kudus – Pati pun banjir. Saat itu kita ‘banting stir’ bikepacking ke kawasan
Prambanan.
Bulan September 2014 kita kesana lagi. Kita berhasil
menemukan lokasi vihara Ratanavana Arama yang pertama kali dibangun tahun
1979 oleh Banthe Sudammo. Namun kita gagal memasukinya.
Vihara Ratanavana Arama terletak di desa Sendangcoyo, Lasem,
kurang lebih sekitar 4 kilometer dari pusat denyut kota kecamatan ini. Tidak
jauh jika kita naik kendaraan bermotor. Lumayan menantang jika kita naik sepeda
lipat. Aku yakin karena keindahan eksterior dan ornamen di dalamnya telah
mengundang banyak pengunjung untuk menikmatinya. Akan tetapi ternyata di antara
para pengunjung itu ada yang terlalu kreatif untuk meninggalkan jejak sehingga
entah mulai kapan pintu gerbang vihara selalu ditutup. Ini sebabnya apakah anda
bisa masuk ke dalam vihara tergantung dari amal kebaikan anda. Hohohoho ...
Bukan, tergantung apakah anda beruntung atau tidak.
Seorang kenalan – Pak Yon – yang selama ini hanya kukenal
nomor hape dan suaranya memberitahuku bahwa memang kita butuh punya kenalan di
Lasem yang memiliki koneksi masuk ke dalam vihara. Bulan September 2014,
sesampai vihara dan mendapati pintu gerbang tertutup dan terkunci, aku
menghubungi Pak Yon. Sayangnya beliau memberi kabar yang kurang menguntungkan
karena si penjaga pintu gerbang sedang keluar kota.
Bulan Oktober aku berkesempatan ke Lasem lagi, mengantar
field trip anak-anak SD kelas 6. Aku berpikir bahwa berwisata sejarah dan
wisata religi ke vihara akan menambah pengetahuan bagi anak-anak karena area di
dalam vihara terbagi menjadi beberapa kawasan. Misal ada Taman Lumbini dimana
disana digambarkan ketika Siddharta Gautama dilahirkan. Kemudian ada patung
Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon (Bodhi) sebelum Siddharta menjadi
Buddha. Ada juga patung sang Buddha yang dikelilingi beberapa muridnya, ketika
sedang mengajarkan ilmu yang dia dapatkan di sebuah taman yang disebut Taman
Rusa.
Akan tetapi aku gagal lagi menjelajahi vihara Ratanavana
Arama. Kita tidak diperkenankan masuk dengan alasan sang biksu/bikkhu khawatir
jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang berhubungan dengan anak-anak.
Beberapa kali telah terjadi anak-anak yang diajak menjelajah vihara pulangnya
kesurupan.
Rupanya aku berjodoh dengan vihara yang lokasinya lumayan
terpencil ini di bulan Mei 2015.
14 Mei 2015 - Kamis
Kali ini aku dan Ranz tidak naik sepeda lipat ke Lasem,
tetapi naik sepeda motor. There will always be the first in everything, won’t
there? J mengapa naik motor?
Karena kita tidak hanya berdua, aku mengajak serta Angie – the so-called
kembaranku yang usianya 24 tahun lebih muda – dan aku meminta Angie mengajak
Fitri, salah satu sobatnya sejak masih duduk di bangku SMP. Jika bagiku dan
Ranz ini adalah ‘turing’ pertama naik sepeda motor, Fitri sudah sering
melakukannya. Maka, ya begitulah, dalam perjalanan mereka telah melesat jauh,
aku dan Ranz tertinggal puluhan kilometer di belakang. J
Gaya turing naik motor kita tak jauh beda dengan ketika bikepacking:
kulineran itu hukumnya wajib. LOL. Selain memang perut perlu diisi, kita juga
butuh istirahat agar tidak tegang. Satu lagi, menghilangkan rasa kantuk yang
menerpa.
Kita berempat – Angie, Fitri, Ranz, dan aku – meninggalkan
satu minimarket di Jalan Imam Bonjol sekitar pukul 08.00. Kita sampai pom
bensin setelah melewati tugu selamat datang di kota Kudus pukul 09.15. Aku
membeli pertamax, Fitri perlu mampir ke toilet dan musholla.
Dua puluh menit kemudian kita mampir ke rumah makan yang
menyediakan garangasem khas Kudus untuk sarapan. Pertama kalinya aku makan
garangasem. (Better late than never. LOL.) rasanya lumayan enak, tentu
kapan-kapan kalo lewat Kudus, aku mau mampir lagi. Hahahaha ...
Sekitar pukul 10.30 kita melanjutkan perjalanan. Jika dari
Semarang ke Kudus Fitri memboncengkan Angie, kali ini gantian Angie yang
memboncengkan Fitri, karena Fitri merasa sedikit ‘bersalah’ padaku: dia tidak
bisa naik motor pelan-pelan. LOL. Maka dalam perjalanan Kudus – Pati, dua motor
kita berjalan beriringan. Sampai ...
Saat mengayuh pedal sepeda aku bisa terserang kantuk yang
sangat, padahal kaki sibuk mengayuh. Bisa dibayangkan jika aku naik motor. LOL.
Dan ... itulah yang terjadi. Aku mengantuk. Meski aku telah berusaha sendiri
untuk memerangi rasa kantuk ini, dengan menggeleng-gelengkan kepala, menoleh
kiri kanan, ngobrol dengan Ranz, satu saat aku meleng, hingga hampir saja motor
nyebur ke selokan. LOL. Ranz langsung mengguncang-guncangkan tubuhku, “Kamu
ngantuk?” Aku yang langsung tersadar, memandang ke arah Angie dan Fitri yang
terlihat begitu khawatir, rasanya malu banget dah. LOL.
Tak lama kemudian, aku sudah membonceng Angie, sedang Ranz
pindah ke motor Fitri. LOL.
Sekitar pukul 12.00 kita telah sampai di Rembang. Kita tidak
langsung menuju Lasem karena Fitri ingin berziarah ke makam RA Kartini di
kawasan Bulu – Rembang. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 18 kilometer dari jalan
pantura dengan trek naik turun. Berulang kali bertanya pada orang, berulang
kali pula mereka berkata, “Ya betul, lurus saja. Masih jauh.” Hingga yang
terakhir menjawab, “Jika sudah sampai kantor kecamatan Bulu, sudah dekat.” J
Kompleks pemakaman RA Kartini dibagi menjadi dua, “makam ageng”
yang merupakan kompleks kuburan RA Kartini dan anggota keluarga yang
berhubungan darah langsung, dan “makam alit” tempat kuburan anggota keluarga
yang “agak jauh”.
Lumayan banyak juga orang-orang yang berziarah ke makam
Kartini waktu kita ada disana. Serombongan ibu-ibu sedang membaca surah yaasin
waktu kita datang. Begitu rombongan ini pergi, ada rombongan lain lagi yang
memanjatkan doa.
Sekitar pukul tiga sore kita telah sampai pusat kota Lasem –
masjid agung yang terletak di pinggir jalan pantura. Rencana kita langsung
menuju penginapan – Hotel Wijaya – tempat aku dan Ranz pernah menginap dua
kali, check in, menaruh barang, kemudian lanjut ke Pasujudan Sunan Bonang. To
our surprise, hotel satu ini sudah tidak dioperasikan lagi. Waahhh, kita harus
hunting penginapan nih. Akhirnya kita mampir masjid untuk shalat dan istirahat
sebentar.
Setengah empat kita meluncur ka kawasan Tuyuhan untuk makan
siang yang kesorean. Jika bulan September lalu aku dan Ranz tidak sampai
kawasan kuliner lontong Tuyuhan ini (karena kita buru-buru pulang), kali ini
kita berhasil menikmati makanan khas Lasem ini. Aku dan Angie satu porsi
berdua, Fitri memesan setengah porsi, Ranz mengambil sate uretan dan kuahnya
tanpa lontong.
Setengah lima sore kita meninggalkan kawasan Tuyuhan menuju
Pasujudan Sunan Bonang. Akhirnya kita pun mendapatkan kesempatan untuk sedikit
berolahraga: mendaki tangga menuju lokasi Pasujudan Sunan Bonang dan Makam
Putri Cempo. :D Di hari ini kita mengunjungi makam dua kali. :-D
Dalam perjalanan menuju lokasi Pasujudan Sunan Bonang, kita
melihat ada sebuah hotel yang terletak di pom bensin, nama hotel itu Tasiksono.
Kesanalah kita menuju. Ada dua jenis kamar hotel yang ditawarkan, (1) non AC,
fan, TV, kamar mandi dalam Rp. 70.000,00 (2) AC, TV, kamar mandi dalam Rp.
140.000,00. Demi kenyamanan – agar tidak gerah di malam hari karena kita harus
share bed yang tersedia berempat – kita memilih kamar ber-AC.
Malamnya kita makan malam di dekat masjid agung Lasem. Aku
memilih cap cay goreng yang kumakan bareng Ranz, Angie nasi goreng, Fitri
memilih nasi srepeh. Usai makan di warung ini, kita menuju warung sate Kobong –
yang kita nikmati di dua kali ke Lasem sebelum ini. Namun ternyata warung sate
asli Tulungagung ini tutup. Not Ranz’s lucky night. J
15 Mei 2015 – Jumat
Pagi-pagi sekali Fitri pamit pulang ke Semarang karena dia
harus ke Malang malamnya.
Pukul delapan aku, Ranz, dan Angie meninggalkan hotel;
mereka berdua berboncengan naik motor, aku naik bus. Kita menuju masjid agung. Sembari
menunggu kabar dari Pak Yon, kita sarapan di seberang masjid agung.
Sekitar pukul setengah sepuluh mas Bowo – yang di’utus’ Pak
Yon untuk menjadi guide kita hari ini – datang ke masjid. Setelah mas Bowo
mengadakan koordinasi dengan teman-teman komunitas Lasem, kita menuju
Sendangcoyo. Syukurlah mas Bowo datang naik motor: one problem automatically
solved è aku tinggal bonceng mas
Bowo. J Lokasi vihara
Ratanavana Arama yang terpencil mengharuskan kita naik kendaraan sendiri, atau
ojek. To our surprise, jalan setapak yang bulan September tahun lalu kita
lewati dengan tertatih-tatih karena permukaannya yang rusak, (ga jauh beda
dengan trek di Baluran) kali ini sudah beraspal mulus, meski ada beberapa titik
yang terlihat sudah mulai mengelupas.
Akhirnya, one dream-come-true for me: menjelajahi vihara
Ratanavana Arama. Saat waktunya tiba, aku justru telah lupa satu lokasi yang
sangat kuidam-idamkan: patung Buddha berbaring! Juga candi yang jika kulihat di
web dikatakan sebagai miniatur candi Borobudur.
Saat kita datang, angin berhembus dengan kencang. Satu hal
yang mengingatkanku saat berkunjung kesini dengan anak-anak kelas 6, saat itu
angin juga berhembus kencang. Angin berhenti berhembus kencang saat kita
menerima kabar bahwa kita tidak bisa menjelajahi kawasan vihara.
Aku seperti orang yang tersihir saat menapaki tangga untuk
memulai mengeksplor vihara yang luasnya mencapai 8 hektar, tidak ingat apa-apa
yang ingin kulihat. Aku hanya mengikuti langkah sang ‘guide’ (haduh, aku lupa
bertanya namanya siapa). Dari satu taman ke taman yang lain, dari satu patung
Buddha ke patung yang lain, hingga kita dibawa ke lokasi dimana ada patung
Buddha raksasa yang sedang berbaring. Nah! Aku baru ingat, patung satu inilah
yang kuidam-idamkan kulihat langsung dan mengabadikannya menggunakan kamera
(hape) sendiri. Sejak tahun 2012. Yang justru tidak kuingat ketika mulai
menapakkan kaki setelah menulis buku tamu. Wew. Dari sana kita naik lagi menuju
lokasi dimana ada candi kecil, yang ternyata diberi nama candi Sudhammo,
seperti nama banthe yang berinisiatif membangun vihara ini. Setelah melihatnya
aku juga seperti baru ingat, candi ini juga yang ingin kulihat langsung. Meski
kita hanya bisa melihat candi dari luar pagar, kita cukup puas.
Sekitar pukul sebelas kita telah sampai di Rumah Candu atau
yang juga disebut sebagai Lawang Ombo karena memang pintu gerbangnya lebar. Gedung
ini sudah termasuk cagar budaya karena di satu ruangannya ada lubang – yang
mirip sumur – dimana dulu merupakan ‘pintu masuk’nya candu ke pulau Jawa secara
ilegal.
Di halaman belakang gedung ini ada makam Captain Liem yang
menurut kisahnya dibantai oleh Belanda di salah satu kamar di dalam gedung itu
karena membela rakyat pribumi Lasem melawan Belanda. Nampaknya bentuk gedung
masih asli, meski sudah ada larangan untuk naik ke lantai dua karena
dikhawatirkan bangunannya sudah lapuk.
Saat kita berada disana, ada juga wisatawan mancanegara yang
sedang berkunjung, dan beberapa wisatawan nusantara lain.
Rencananya setelah berkunjung ke Rumah Candu aku akan
mengajak Angie ke Kelenteng Cu An Kiong yang terletak tak jauh dari situ,
paling-paling berjalan kaki hanya butuh lima menit, kemudian mengitari daerah
Pecinan. Namun tidak jadi karena ternyata Angie kepengen buru-buru pulang.
Kita berpisah di depan masjid agung, Angie naik bus,
sedangkan aku dan Ranz naik motor.
Perjalanan pulang kali ini kita santai banget, karena Ranz
khawatir aku mengantuk dan membahayakan jiwa kita berdua. J Kurang lebih 20 kilometer dari pusat kota
kecamatan Lasem itu kita berhenti di satu pom bensin yang ada mini marketnya,
aku ngopi, Ranz menikmati mie instant cup, jelang masuk daerah Kaliori.
Pemberhentian berikutnya adalah satu pom bensin yang
terletak di kota Pati. Usai buang hajat di toilet pom bensin, kita menikmati
seporsi rujak pedas berdua dengan es degan dan es gempol (tapi tanpa gempol.
LOL) Di Kudus Ranz mengajakku di sentra penjualan jagung dan bakwan jagung
bakar, di warung Bu Paini. Tak lama meninggalkan sentra kuliner ini kita mampir
lagi ke pom bensin, buang hajat lagi. LOL. Pemberhentian selanjutnya di satu
mini market dekat alun-alun Demak. Aku ngopi lagi, sedangkan Ranz menikmati
secangkir coklat panas.
Perjalanan agak tersendat setelah kita jelang masuk Sayung,
macet panjang terjadi karena sedang dilakukan perbaikan jalan. Kita harus
berjalan perlahan-lahan di antara kendaraan-kendaraan besar, seperti bus dan
truk. Lepas dari macet, kita disambut rob di kawasan Kaligawe. Cakep! LOL.
Meninggalkan alun-alun Demak tak lama setelah adzan maghrib,
kita mampir ke Babah Tiam di Jalan Imam Bonjol Semarang sekitar pukul tujuh. Aku
ga ngopi lagi, menemani Ranz yang ingin makan dim sum, aku cukup minum air
putih saja. Dua hari dalam perjalanan turing (yang tidak naik sepeda), aku
merasa sangat kurang minum air putih.
Jam sembilan malam, aku sudah sampai rumah.
Will there be the next touring by motorcycle? Perhaps. J
NOTE:
Mengapa ‘lunas’?
1)
Keinginan menjelajah vihara Ratanavana Arama
akhirnya terkabul
2)
Keinginan menunjukkan Rumah Candu ke Ranz (dan
Angie) terkabul
3)
Keinginan mencicipi lontong tuyuhan terkabul
Selain ketiga keinginan itu,
ada lagi nilai tambahnya: mencicipi masakan khas Kudus, garangasem, dan
mengunjungi Pasujudan Sunan Bonang dan Makam Putri Cempo.
LG 12.00 19/05/2015