BLUSUKAN
MAGELANG BERSAMA LOPEN SEMARANG
Ternyata tak butuh waktu yang lama bagiku dan
Ranz untuk kembali berweekend-ria tanpa sepeda. J Kurang
lebih dua bulan kemudian – setelah trekking ringan ke Gedong Songo – kita
mendapatkan kesempatan untuk blusukan ke Magelang. Kali ini kita tidak hanya
berdua, melainkan bergabung bersama LOPEN SEMARANG, sebuah komunitas di
Semarang yang mengaku sebagai pecinta sejarah.
Ini adalah kali pertama aku dan Ranz
mengikuti event yang diadakan oleh LOPEN SEMARANG. You can guess, akan ada kali
kedua, ketiga, dan selanjutnya, I believe. J Lopen
menamai event ini “Blusukan #kota1000Candi”
Aku dan Ranz sampai di tikum – BCA
Universitas Diponegoro – pukul 06.30 karena Ranz khawatir kita terlambat. And
ternyata, kita adalah peserta pertama yang datang. Horeeee. LOL. Bus yang akan
membawa kita menjelajah kota Magelang pun belum datang.
Singkat cerita, kita baru meninggalkan tikum
pukul 08.00. Di antara 30 orang peserta, “hanya” ada 6 peserta yang telah
secara resmi bergabung dengan LOPEN,
yang lain peserta “luar”. Ini luar biasa karena biasanya jika LOPEN mengadakan
acara, lebih banyak LOPENers yang ngikut dibanding peserta luar. J
Beberapa destinasi yang ada dalam daftar
adalah (1) Paroki (2) Candi Ngawen (3) Masjid
Agung yang terletak tak jauh dari alun alun kota (4) Museum Diponegoro (5) Masjid
Tiban (6) Candi Selogriyo. Dari keenam lokasi tersebut, kita tidak jadi ke
Paroki karena ternyata waktu itu sedang ada kebaktian. Kita juga tidak bisa
masuk ke Museum Diponegoro karena yang membawa kunci sedang keluar kota.
Sesampai alun-alun Magelang, dan komunitas
KOTA TOEA MAGELANG yang menjadi tour guide kita bergabung dalam bus, kita
langsung menuju Candi Ngawen. Karena aku dan Ranz sempat mampir kesini waktu
gowes dari Borobudur ke Jogja, bulan Mei 2013, ini adalah kali kedua kita ke
Candi Ngawen. Satu hal menarik – bagiku dan Ranz – adalah tanah di bawah candi
yang mengandung banyak air, sehingga jika kita menjejakkan kaki di atas rumput,
kaki kita akan merasa “nyut-nyutan”. J
Namun ternyata saat itu, di atas tanah tak ada lagi rerumputan. Agar permukaan
tanah tidak tersedot kedalam – dan mungkin akan merusak candi – rerumputan itu
ditimbuni oleh pasir.
Kita tidak bisa menikmati suasana Candi
Ngawen dengan leluasa karena hujan yang mendadak datang. FYI, curah hujan di
kota Magelang ternyata lebih tinggi dibandingkan kota Semarang.
Dari Candi Ngawen, kita kembali ke alun-alun.
Waktu telah menunjukkan jelang pukul 12.00. Sebagian dari kita masuk ke masjid Agung untuk shalat, sebagian
yang lain jalan-jalan di alun-alun. Masjid Agung ini ternyata telah berusia
ratusan tahun. Pertama dibangun pada
tahun 1650 oleh seoran g ulama yang
berasal dari Jawa Timur, KH Mudakir. Kemudian berulang kali mengalami pemugaran
tahun 1797, 1810, 1835, dan 1871. Pemugaran besar-besaran dilakukan pada tahun
1934. Sedangkan menara setinggi 24 meter
dibangun pada tahun 1991.
Aku dan Ranz menyempatkan diri jajan kupat
tahu satu porsi yang kita makan bersama. FYI, di pinggir alun-alun Magelang,
banyak orang berjualan berbagai jenis makanan sehingga jika merasa lapar akan
mudah mendapatkan asupan makanan. J
Menjelang kita meninggalkan
alun-alun, hujan kembali turun. Dari alun-alun kita lanjut
ke Museum
Diponegoro. Untunglah sesampai lokasi Museum Diponegoro, hujan mereda, hanya
tinggal gerimis tipis. Seperti yang sudah kutulis di atas, kita tidak bisa
masuk ke dalam museum, namun kita masih bisa menikmati pemandangan yang cantik
di belakang museum. Sayangnya waktu itu sedang mendung sehingga kita tidak bisa
memandang gunung Sumbing dari kejauhan. Bagiku pribadi yang sangat menarik dari
kunjungan ke lokasi ini adalah aku menjadi tahu bahwa disini dulu pernah ada
satu fakultas dari Universitas Gadjah Mada. Sampai sekarang kita masih bisa
melihat tugu yang bertuliskan “UNIVERSITAS GADJAH MADA CABANG MAGELANG”. Namun tidak
jelas kapan fakultas ini didirikan dan mulai kapan tidak lagi dimanfaatkan
sebagai tempat belajar dan mengajar.
Dari Museum Diponegoro kita
melanjutkan perjalanan menuju Masjid Baitul Muttaqien yang terletak di Desa Trasan, Kecamatan
Bandongan Kabupaten Magelang. Dalam perjalanan dari alun-alun ke Desa Trasan, tour guide kita
sempat menjelaskan beberapa gedung peninggalan zaman colonial Belanda. Sayangnya aku tidak sempat mencatatnya jadi
terlupa semua. LOL. Satu hal yang kuingat, di beberapa lokasi di Magelang, kita
masih bisa menemukan rel kereta api. Zaman dulu ada kereta api dari Semarang ke
Jogja, juga ada dari Magelang ke Temanggung.
Apa yang istimewa dari Masjid
Baitul Muttaqien sehingga worth visiting? Tak ada catatan yang jelas kapan
masjid ini didirikan. Namun konon masjid ini dibangun oleh salah satu wali
songo sehingga mungkin seusia dengan masjid Agung Demak. Masjid ini juga dikenal sebagai “masjid
tiban” karena katanya masjid ini mendadak ada di lokasi yang bisa kita temukan
sekarang. Dulu, konon, masjid ada di lokasi yang berjarak 200 meter dari lokasi
yang sekarang. Masjid ini “terpindah” 200 meter dari lokasi semula hanya dalam
waktu semalam. J Warga sekitar masih sangat percaya bahwa jika ada
pedagang yang menjual dagangan untuk sahur para Jemaah di bulan Ramadhan, dagangan
mereka akan semakin laris.
Destinasi terakhir yang kita
kunjungi adalah Candi Selogriyo. Candi ini terletak di Dusun Campurejo, Desa
Kembangkuning, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Apa yang istimewa dari
candi ini? PEMANDANGAN SEPANJANG PERJALANAN! J Dari
tempat kita turun dari bus, kita harus
berjalan kaki sejauh kurang lebih 2,5 kilometer, dengan trek menanjak yang
terkadang curam. Karena musim hujan, kita tidak bisa menikmati pemandangan di
bawah cerahnya sinar mentari. Sebaliknya, kita menikmati kabut yang menyelimuti
keadaan sekitar. J Namun, trust me, pemandangannya tetaplah spektakuler.
So? Jangan terus menerus focus ke trek yang kita tapaki, kita tetaplah harus
mengedarkan pandangan kita ke sekeliling kita; lembah dengan sawah yang
dibangun terasering.
Satu hal yang paling wah, menurut
tour guide kita, adalah pemandangan sunrise yang bisa kita nikmati jika kita
berdiri di candi Selogriyo sambil memandang lembah di depan mata. Namun karena
kita tidak datang di waktu fajar, ya bukan sunrise yang kita dapatkan,
melainkan kabut. J
Menurut panitia sebenarnya dari
Candi Selogriyo kita akan ke satu curug yang terletak kurang lebih 1 kilometer.
Akan tetapi karena hari itu cuaca tidak terlalu mendukung kita untuk melakukan
trekking yang lebih menantang, dan sudah terlalu sore, maka setelah menikmati
makan siang (yang kesorean) dengan menu sop senerek, mendengarkan penuturan
tour guide tentang candi Selogriyo, kita kembali trekking menuju bus.
Kita sampai di lokasi tikum – BCA
Universitas Diponegoro – safe and sound sekitar pukul 20.30.
Dengan sukacita, aku dan Ranz
menunggu event LOPEN SEMARANG selanjutnya. Yuhuuuuuu.
GG 12.12 11 December 2014
|
QQ dan yayangnya :) |
|
suasana dalam bus |
|
Tami dengan kenalan barunya |
|
sarapan nasgor :) |
|
suasana dalam bus |
|
kenalkan, nama saya .... |
|
Tami |
|
Candi Ngawen |
|
tour guide kita dari komunitas KOTA TOEA Magelang |
|
patung Pangeran Diponegoro di alun-alun Magelang |
|
Ranz kumat difoto dari belakang :P |
|
Masjid Agung Magelang |
|
in action berdua |
|
ini di belakang Museum Diponegoro |
|
mulai berjalan menuju Candi Selogriyo |
|
Mima dan Qq |
|
di belakang Museum Diponegoro |
|
ada lingga dan yoni! |
|
tugu penanda bahwasanya satu kali dulu ada UGM Cabang Magelang :) |
|
salah satu gazebo yang terletak di belakang tugu UGM |
|
Tami yang kian centil :P |
|
Tami dan Dwi di depan Masjid Trasan |
|
kabut yang menemani sepanjang trekking ke Candi Selogriyo |
|
trek tanjakan yang cukup curam |
|
gerbang penanda menuju Candi Selogriyo |
|
kabuuuuutttt |
|
tangga naik jelang Candi Selogriyo (abaikan Ranz yaa?) |
|
siapa ya namanya? dia mengaku hobi lari (dari kenyataan :) ) |
|
patung agastya tanpa kepala di Candi Selogriyo |
|
Candi Selogriyo |
|
seluruh peserta dengan latar belakang Candi Selogriyo |
P.S.:
Thanks a billion for Ranz for the pictures, as always