
Guess what???
Nonton film ini--LITTLE MANHATTAN-- aku jadi pengen ngerasain naik otopet barengan Abangku. :) Kapan ya??????????
KPDE 20.50 301206
Mengacu ke
tulisanku sebelum ini, terutama yang menyangkut Feminisme Marxis/Sosialis, ada
sedikit hal yang ingin kutambahkan di sini. (sebelum diprotes oleh seseorang
nih. LOL.) => lihat tulisanku di sini ya.
Aku punya seorang teman baik, Y, yang bersuamikan seorang dokter, profesi yang lumayan terpandang di Indonesia. Ketika Y tinggal di Semarang, dia berkarir sebagai seorang guru Bahasa Inggris, sepertiku. Namun, tentu saja penghasilannya jauh di bawah sang suami yang seorang dokter. Apakah hal ini kemudian membuat relasi suami istri ini seperti seseorang dari kelas borjuis dan yang satu dari kelas proletar?
Aku harus mengatakan TIDAK. Y yang di mataku memiliki suatu kehebatan yang tidak dimiliki oleh sembarang perempuan—mampu menjinakkan suaminya, dan laki-laki lain, LOL, bercerita kepadaku bahwa di rumah, dia tetap merupakan sang Ratu yang dilayani oleh suaminya. Sebelum mereka memiliki anak, temanku biasa bangun siang, sedang suami karena kadang-kadang harus jaga di rumah sakit pagi hari, jam 6 pagi sudah siap berangkat. Sebelum berangkat, dia bangunkan sang istri tercinta, “Bangun Sayang. Sarapan sudah siap di meja makan. Jangan lupa sarapan yah? Aku berangkat dulu.”
Sekarang mereka memiliki dua buah hati yang membuat temanku sibuk mengurusi keduanya. Namun urusan rumah tangga, suaminya yang baru saja lulus dari spesialisnya ini tetaplah mengambil peran. Beberapa bulan lalu ketika mereka ke Semarang, aku bertandang ke rumah mereka. Sementara aku dan Y asik ngobrol, suaminya memasak spaghetti yang lezat buat makan siang kita bersama. Dan Y dengan bangga mengatakan kalau anak-anaknya paling suka spaghetti masakan papinya.
Selain Y, seseorang yang dekat denganku juga mengatakan bahwa dia menganggap istrinya tidak seperti kelas proletar dan dia kelas borjuis hanya karena dia laki-laki yang bekerja. Namun dalam hal mengambil keputusa, oh well, dia HARUS yang merupakan the decision maker dalam keluarganya.
Meskipun dia tentu bisa memasak instant noodle, LOL, dia akan sangat suka dimasakin oleh anaknya/istrinya karena dia mengaku sebagai seseorang yang kolokan. LOL. Paling suka kopi tubruk, tapi sering malas bikin sendiri sehingga lebih memilih minum wine yang tinggal ambil dari kulkas, trus ambil gelas, dan gluk gluk gluk. LOL. Untungnya dia bukanlah seorang yang penuntut, minta disiapin makan ini itu. Disiapin apa aja oke, karena dia akan selalu menghargainya.
Dan aku harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum dia menjewer telingaku karena buka-buka rahasia. Hahahaha ...
PT56 12.30 231206
Seberapa tergantungkah kamu dengan guling?
Semenjak kecil aku terbiasa tidur dengan memeluk guling, sehingga guling ini fungsinya, menurutku, sangat penting dibandingkan dengan bantal. Mottoku dalam tidur: lebih mending tidak pakai bantal daripada tidak pakai guling. LOL. Aku ingat ketika tahun 1977 aku dan keluarga berkunjung ke keluarga besar di Gorontalo, ortuku sampai perlu minta disediakan guling khusus untuk aku agar aku bisa tidur nyenyak. (Sedangkan untuk Nunuk adikku, yang dia butuhkan adalah tempe ketika makan, karena ketika kecil, dia hampir tidak mau makan tanpa tempe.) Loh, Na, apa hubungannya antara guling dan tempe? LOL.
Yang aku ingat guling yang disediakan waktu itu besar (untuk ukuranku yang masih duduk di bangku kelas 4 SD), dan keras, sama sekali tidak empuk. Pengalaman dengan guling yang sama sekali tidak menyenangkan bagiku. LOL.
Ketika aku ngekos di Yogya, tak satu kos pun yang pernah kutinggali yang menyediakan guling. Untunglah banyak toko yang menjualnya, sehingga it was really not a big deal.
Tahun 2004 ketika aku balik ngekos lagi di Yogya, to pursue my Master’s Degree study, aku beli bantal dan guling di Mirota Kampus Jl. C. Simanjuntak. Sampai sekarang guling ini merupakan guling kesayanganku, yang selalu kupeluk ketika aku beranjak tidur, maupun hanya duduk di depan monitor komputer sembari mengetik ataupun nonton VCD.
Masalahnya adalah, ketika aku balik ke Semarang, Angie pun suka pakai guling ini. walhasil, kita sering rebutan guling deh. Dalam hal lain aku biasa mengalah, namun dalam hal guling, aku pengennya menang. Hahaha ... Sayangnya, Angie yang sudah terbiasa kumenangkan ketika aku dan dia rebutan sesuatu, dia tetap saja maunya menang. Sehingga, dengan berat hati, aku pun mengalah. Kalau ke Abang aku sering bilang, “Sing waras ngalah Bang” (dan dia sempet ngomel-ngomel ketika alku menggunakan senjata ini, wakakakaka ...), kalau ke Angie tentu saja beda, “Sing gedhe ngalah ...” Tapi, ada syaratnya, yang pakai guling kesayangan ini, harus tidur di pojok dekat tembok, jauh dari kipas angin. Hahahaha ... Angie setuju.
Beberapa bulan lalu, kala di Semarang hawa panas menyengat tidak saja di siang hari, namun juga di malam hari, Angie memilih untuk tidur di dekat kipas angin, dan aku yang di pojok. Dengan serta-merta aku minta guling spesial menjadi milikku, dan Angie memeluk guling yang lain.
Beberapa bulan berlalu.
Beberapa hari yang lalu, entah mengapa, tiba-tiba Angie memintaku untuk tukar tempat waktu tidur, dia di pojok dekat tembok, aku di pinggir, dekat kipas angin. Dan untuk ini, Angie memaksa guling kesayangannya menjadi miliknya. Aku oke-oke aja sih. Namun, ternyata ketika di malam hari mau tidur, aku ga bisa tertidur dengan mudah, karena guling yang kupakai terlalu mungil untukku. Aku pengennya guling yang gedhe. Well, aku pikir, aku hanya butuh waktu beradaptasi aja dengan guling mungil ini. Toh, aku sendiri orangnya ya mungil. LOL. Namun, ternyata, it was not as easy as I thought. Akhirnya aku berpikir, untuk membeli guling baru aja lagi, yang lebih besar, lebih empuk, enak untuk dipeluk, mengantarku ke alam mimpi, sembari menunggu sms dari orang yang kusayangi.
Heran, kenapa ga sejak aku balik ke Semarang aja yah aku beli guling baru lagi aja, biar ga rebutan melulu dengan Angie? Tapi, rebutan dengan Angie kadang-kadang enak juga kok. Kalau ga gitu, ga ramai lah. Hahahaha ...
PT56 11.35 151206
![]() |
this is NOT me 😀 |